Bijaklah Bermedsos, Jejak Digital Kamu Jadi Pertimbangan Rekruitmen TNI-POLRI dan Karyawan

Di era seperti saat ini nyaris sebagian besar orang mempunyai telepon genggam (handphone), computer dan netbook.

Editor: M Arif Hidayat
Tribunnews.com

TRIBUNBENGKULU.COM - Di era seperti saat ini nyaris sebagian besar orang mempunyai telepon genggam (handphone), computer dan netbook.

Semua akses memakai internet. Mereka bebas memakai sosial media itu sebagai komunikasi, menambahkan pengetahuan, cari informasi atau kesenangan semata.

Tapi kedatangan sosmed membuat paradoks untuk kita, dapat jadikan sumber fitnah dan maksiat. Pertama kali kehadiran face book untuk kesenangan dan cari persahabatan. Kehadiran tweeter untuk ciutan pemikiran kita melalui tulisan, yang berisi cuma ciutan-cuitan biasa.

Kehadiran instagram (IG) cuma mengunggah beberapa foto dan captionnya. Kehadiran tiktok untuk kesenangan video pendek.

Tapi belakangan ini yang dirasakan beberapa orang, banyak sosial media cuma berisi posting negatif yang mengadu domba di antara rakyat dan pemerintahan, di antara organisasi masyarakat satu sama yang lain, di antara perguruan silat A dan B. Bahkan juga yang awalannya kita tidak paham dan membenci organisasi masyarakat atau instansi tertentu, kita justru turut membenci karena menyaksikan video tiktok.

Maka dari itu, bijaklah bermedia sosial. Gunakan kata yang santun dan share informasi yang bermanfaat, benar dan bukan berisi cacian dan informasi yang mengadu domba.

Sebab, jejak digital ini nantinya juga berdampak pada diri kita. Salah satunya sebagai bahan pertimbangan dalam perekrutan TNI dan Polri serta saat melamar menjadi karyawan suatu perusahaan.

Selain tes tertulis dan wawancara, jejak digital media sosial juga kini menjadi bahan pertimbangan untuk rekrutmen tersebut.

Sebab, dari jejak digital ini orang bisa menggambarkan kepribadian kita di mata orang lain, mulai dari apa saja yang kita posting dan komentari pada media sosial.

Sekarang, mayoritas orang menganggap apa yang terjadi pada seorang di sosial media sebagai jati diri mereka sebetulnya.

Datang sebagai Pembicara Anggota Komisi I DPR RI Dede Indra Permana, Dirjen Aptika Kemkominfo Semual Abrijadi Pangerapan dan Praktisi Komunikasi dan Akademisi Institut Stiami Wulan Furie.

berdasar data tahun 2021, sekitar 70 persen perusahaan lakukan riset online saat menerima karyawan dan 66 persen melihat jejak digital di Facebook. Selanjutnya, 70 persen manager menolak calon berdasar info yang didapat dari online.

"Sekitar 85persen manajer dipengaruhi jejak digital positif saat mengambil keputusan. Di dunia Pendidikan, sekitar 38 % jejak digital negatif tutup peluang masuk perguruan tinggi opsi, dan 33 persen perguruan tinggi mempelajari tapak jejak digital calon mahasiswa," ucapnya.

Ia menerangkan sekarang ini, pengguna internet di Indonesia sekarang ini sekitar 202 juta orang yang memiliki arti 73,7 persen dari jumlahnya warga Indonesia yang 270-an juta pada jumlah generasi Z (1997-2012) atau angkatan digital capai 27,94 persen dari total warga Indonesia.

"Di era pandemi covid-19, pekerjaan, berinteraksi dan servis semakin banyak dilaksanakan lewat cara online," ucapnya.

Akademisi Institut Stiami Wulan Furie menjelaskan ada tantangan budaya di zaman digital yaitu menyusutnya nilai-nilai budaya Indonesia karena media digital jadi panggung seakan-akan budaya asing.

Disamping itu, ujarnya, ada kecondongan pada kebebasan berekspresi yang kelewatan sering berpengaruh pada menurunnya toleran dan penghargaan pada ketidakcocokan. Bahkan juga maraknya pelanggaran hak cipta dan kreasi intelektual.

"Termasuk meningkatnya provokasi yang bisa merusak belahkan bangsa, cukup dengan satu unggahan., meningkatnya kejahatan seksual online," kata presenter populer ini.

Ia memperingatkan pentingnya membuat gambar positif lewat media sosial diantaranya dengan memanfaatkan nama dan photo asli, unggah prestasi dan karyamu, follow akun-akun menginspirasi dan perluas jaringan dan aktif berinteraksi.

Di kesempatan yang serupa, Dede Indra Permana SH, Anggota Komisi I DPR RI menerangkan seharusnya dalam memisah dan memutuskan untuk beraktivitas di sosial media, harus memakai tata nilai yang baik.

Janganlah sampai kita kerap merekam yang buruk. Jangan cuman membagi informasi yang belum pasti betul karena harus dilihat dahulu kebenarannya.

"Apakah itu informasi hoax atau bukan, atau informasi propaganda atau tidak. Janganlah sampai yakin dengan informasi itu," ucapnya

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved