Kasus Inses Bengkulu

Update Kasus Inses Kakak Adik Kandung di Rejang Lebong Bengkulu, Sang Anak Bakal Jalani Tes DNA

Kabar terbarunya, korban yang masih berusia di bawah umur itu telah dibawa ke Provinsi Bengkulu untuk perawatan.

|
Penulis: M Rizki Wahyudi | Editor: Hendrik Budiman
HO TribunBengkulu.com/M. Rizki Wahyudi
Kepala DP3APPKB Rejang Lebong Sutan Alim (kiri) dan Korban Bersama Pelaku Inses (Kanan). Update Kasus Inses Kakak Adik Kandung di Rejang Lebong Bengkulu, Sang Anak Bakal Jalani Tes DNA 

Jika korban merupakan anak di bawah umur, Pasal 81 dan Pasal 82 UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak memperberat sanksi bagi pelaku. Yakni dengan ancaman hukuman maksimal lima belas tahun penjara.

Lebih lanjut kriminolog itu mengatakan, orangtua yang mengetahui namun memilih untuk menutup-nutupi kejahatan ini dapat dipertimbangkan sebagai pelaku pembantu kejahatan.

Hal itu sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP yang mengatur tentang pembantu dalam melakukan kejahatan. Dimana mereka dapat dikenakan hukuman penurunan satu tingkat dari pelaku utama.

Dalam konteks UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, peran orang tua dalam menutupi atau menghalangi penuntasan kasus ini bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian dan kekerasan psikologis terhadap korban.

Hal itu dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal-pasal terkait dalam UU tersebut.

"Ini menegaskan bahwa hukum Indonesia memiliki ruang untuk menjerat bukan hanya pelaku utama tetapi juga mereka yang memfasilitasi atau membiarkan kejahatan terjadi tanpa intervensi yang memadai," beber Zico.

Kasus seperti ini menyoroti pentingnya sistem hukum yang responsif dan inklusif, yang tidak hanya mengejar keadilan bagi korban tetapi juga menyoroti perlunya perlindungan dan dukungan terhadap korban dalam menghadapi kekerasan seksual dan KDRT.

Penegakan hukum yang adil dan penanganan kasus yang sensitif terhadap korban menjadi sangat penting.

"Termasuk upaya-upaya pemulihan dan rehabilitasi bagi korban, yang menggarisbawahi kebutuhan akan pendekatan keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan korban sekaligus pemberian sanksi kepada pelaku," lanjut dosen hukum Unib ini.

Kemudian dari perspektif kriminolog, kasus seperti pemerkosaan dalam keluarga yang disertai upaya penutupan oleh orangtua menunjukkan dinamika kekerasan yang tersembunyi dalam struktur sosial dan keluarga.

Kriminologi, sebagai studi tentang kejahatan, penyebabnya, dampaknya, dan cara pencegahannya, menawarkan lensa untuk memahami bagaimana kejahatan seksual dalam keluarga tidak hanya merupakan tindakan kriminal individu tetapi juga cerminan dari masalah sosial yang lebih luas.

Kasus-kasus inses menyoroti kegagalan mekanisme perlindungan dalam lingkup keluarga dan masyarakat.

Faktor-faktor seperti stigma sosial, rasa malu, dan ketakutan terhadap ostrasisasi seringkali menyebabkan korban atau saksi dalam keluarga memilih untuk diam atau menutupi kejahatan.

Dalam konteks ini, Zico menggarisbawahi pentingnya pendekatan multi-disiplin dalam mengatasi kejahatan seksual, yang melibatkan kerja sama antara lembaga penegak hukum, layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan mental.

Pendekatan restoratif, yang berfokus pada pemulihan korban, pelaku, dan masyarakat, menjadi penting dalam kasus kekerasan seksual dalam keluarga.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved