Berita Bengkulu Utara

Hukum Adat: Warisan Leluhur yang Melindungi Hutan Enggano

Raut wajah Armaidi (67) penuh semangat saat bercerita. Ia termenung sejenak, mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan perusahaan ‘pencuri kayu’

|
Penulis: Yunike Karolina | Editor: Yunike Karolina
Yunike Karolina/TribunBengkulu.com
Obyek wisata alam populer Danau Bak Blau 'Mata Biru' di Desa Meok, Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu yang keasriannya masih terjaga. 

"Pernah ada yang tertangkap tapi diselesaikan lewat adat," lanjutnya.

Aturan pembatasan penebangan kayu dan larangan kayu dibawa ke luar Pulau Enggano berlaku bukan hanya untuk pohon-pohon yang ada di hutan adat saja. Melainkan untuk seluruh kayu yang berada di Pulau Enggano, kawasan HL, cagar alam, taman buru.

Untuk pohon di hutan adat sama sekali tidak boleh ditebang. Seperti halnya pohon-pohon yang berada masuk di Kawasan HL, cagar alam, taman buru. Tidak boleh ada yang mengelola, membuka tanah adat, termasuk mengambil kayu di tanah adat tidak boleh

"Setiap suku punya tanah adat, tempatnya berbeda. Dibilang tanah adat karena itu peninggalan leluhur kita tempat kampung halaman," jelasnya.

Milson menegaskan selain itu juga berlaku aturan untuk proyek pembangunan dengan nilai proyek di atas Rp500 juta, tidak diperbolehkan menggunakan material dari Enggano.

“Jadi untuk membangun proyek-proyek memang materialnya semua dari luar. Baik kayu, pasir maupun bahan-bahan lainnya. Hal ini diterapkan untuk menjaga keberlangsungan Pulau Enggano,” kata Milson.

Enggano dari Atas
Penampakan Enggano yang diambil dari pesawat jelang mendarat di Bandara Enggano

Pembukaan Lahan di Pulau Enggano

Pulau Enggano berada di sebelah Barat Daya Kota Bengkulu. Secara administratif Enggano masuk kawasan Kabupaten Bengkulu Utara dengan luas mencapai 400,6 km⊃2; atau sekitar 39 ribu hektare.

Ada enam desa di Pulau Enggano, yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Dengan enam suku masyarakat adat yang mendiami Enggano,  yakni Kaitora, Kaahoao, Kaarubi, Kaharuba, Kauno, dan Kaamay. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai nelayan dan petani.

Setiap suku di Enggano mempunyai kepala suku atau dikenal dengan kap kaudar. Suku Kauno, terdiri dari Kap Kaudar Kapururu, Kap Kaudar Ka’duai dan Kap Kaudar Nahyeah-Pabuuy. Lalu suku Kaitora, terdiri dari hanya satu Kap Kaudar yaitu Kap Kaudar Kaitora.

Ada juga Suku Kaarubi, terdiri dari tiga kap kaudar, yaitu Kap Laudar Ahipe, Kap Kaudar Abobo dan Kap Kaudar Kaanaine. Suku Kaharuba, hanya terdiri dari satu kap kaudar, yaitu Kap Kaudar Kaharuba.

Sementara Suku Kaahoao, terdiri dari empat kap kaudar, yaitu Kap Kaudar Bok, Kap Kaudar Kapuiheu, Kap Kaudar Kakore, dan Kap Kaudar Yamu’i. Suku Kaamay, terdiri dari dari dua bagian wilayah, yaitu wilayah bagian barat dan wilayah bagian timur.

Bagi masyarakat adat Enggano, hutan merupakan sebagai sumber kehidupan. Kawasan hutan di Enggano berdasarkan fungsinya terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, cagar alam dan taman buru. Enggano, memiliki habitat hutan hujan tropis dengan beberapa jenis kayu komersial. Seperti Merbau (Instsia bijuga), Kasai (Pometia pinnata), Pakaror (Shorea macroptera), Bintangur (Calophyllum inophyllum), dan Apua (Kommpassia malaccensis).

Ada dua kayu endemik di Enggano yang berkualitas dan memiliki nilai tinggi, yakni kayu Apua dan Merbau. Kebanyakan kayu untuk membangun rumah adalah jenis kayu Apua karena merupakan kayu paling bagus dan tahan. Sementara merbau untuk konstruksi jembatan.

Data Global Forest Watch menunjukan, dalam dua tahun terakhir deforestasi atau pembukaan tutupan hutan di Pulau Enggano terjadi cukup signifikan. Terbesar di Desa Banjarsari, lalu Kaana dan Kahyapu. Tahun 2022 total luas tutupan hutan hilang baik di dalam atau luar kawasan hutan ada seluas 215,26 Hektare. Di tahun 2023 angkanya melonjak menjadi 1302, 44 hektare.

lihat fotoGrafis Hutan Enggano
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved