Berita Bengkulu Utara
Hukum Adat: Warisan Leluhur yang Melindungi Hutan Enggano
Raut wajah Armaidi (67) penuh semangat saat bercerita. Ia termenung sejenak, mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan perusahaan ‘pencuri kayu’
Penulis: Yunike Karolina | Editor: Yunike Karolina
Milson tidak menapik, adanya pembukaan lahan di luar kawasan dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut untuk mendukung program pemerintah seperti transmigrasi dan cetak sawah baru.
Selain itu, pernah juga terjadi kebakaran besar di tahun 2019, lahan masyarakat, hutan tua terbakar karena disebabkan orang membuka lahan dengan cara dibakar lalu apinya menyebar.
"Program cetak sawah minta persetujuan dulu dengan kita, karena memang untuk kepentingan masyarakat, dan asal jangan dialihfungsikan, cetak sawah memang cetak sawah untuk tanaman padi tidak boleh di luar itu. Komoditi yang dilarang itu tanaman sawit," tegasnya.
Saat ini kata Milson, ada dua kekhawatiran, yaitu pembukaan jalan yang membelah pulau tidak sesuai aturan termasuk melewati tanah ulayat yang tidak boleh dibuka. Kemudian pembukaan lahan di dekat mata air terbesar di Enggano atau yang saat ini menjadi sumber air PDAM yang berada di Desa Malakoni.
Pembukaan lahan di dekat sumber mata air terbesar di Pulau Enggano ini sudah dilaporkan warga. Ditindaklanjuti oleh pabuki dengan mengkonfirmasi langsung ke Kades Malakoni. Dari keterangan kades, ia tidak memberikan izin pembukaan lahan di dekat sumber mata air tak jauh dari PDAM. Sehingga paabuki meminta minta kades agar menyelesaikan persoalan pembukaan lahan tak jauh dari sumber mata air.
"Karena yang saya pelajari, jika ada lahan dibuka dekat mata air maka debit airnya bisa berkurang. Seperti dekat rumah kita ini kalau dulu kemarau tiga bulan mata airnya baru kering, dalam satu tahun bisa dua kali bersawah,”.
“Sekarang hanya satu kali dan itupun sudah repot. Karena itu jangan sampai terulang pembukaan lahan di sumber mata air di Desa Malakoni," jelasnya.
Pabuki juga mengingatkan kades agar berhati-hati saat memberikan izin pembukaan lahan apalagi masuk dalam kawasan tanah ulayat. Jangan sampai ada pembukaan lahan tidak sesuai aturan.
"Tanah ulayat tidak boleh dibuka tapi kalau untuk dikelola sebagai tempat wisata boleh-boleh saja. Itupun harus dibiarkan alami tidak ada satupun pohon yang ditebang," paparnya.


Hukum Adat Benteng Konservasi di Enggano
Akademisi Konservasi Sumber Daya Hutan, Universitas Bengkulu, Dr. Erniwati, merespon kearifan lokal yang masih dipegang teguh masyarakat adat Enggano sebagai sebuah keunikan yang khas. Hal ini menurutnya menjadi kekuatan lokal dalam upaya mempertahankan ekosistem hutan itu sendiri. Di mana paradigma perlindungan hutan itu yakni pemberdayaan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan, karena pemerintah saja tidak akan sanggup.
"Hukum adat di Enggano itu unik. Jarang kan yang ada aturan larangan membawa kayu ke luar pulau. Saya kan orang konservasi jadi kita selalu mengangkat bagaimana kearifan lokal masyarakat itu dalam praktik konservasi. Paling lestari untuk melestarikan karena berakar dari masyarakat itu sendiri," ungkapnya
Erni menyoroti beberapa ketentuan adat yang mengatur relasi manusia kelestarian hutan di Enggano, di antaranya larangan menebang pohon bakau (mangrove). Masyarakat yang menebang pohon mangrove akan dikenakan denda dengan membayar Rp700.000 per pohon. Hal ini berlaku karena sebagian besar masyarakat telah memahami bahwa pohon bakau adalah kawasan pelindung pulau.
Kemudian membuka kebun hanya diperbolehkan pada jarak tiga km dari jalan raya utama. Lebih dari itu merupakan kawasan yang ditetapkan adat sebagai kawasan perlindungan.
“Termasuk larangan mengeluarkan kayu ke luar pulau. jika tidak ada aturan ini bisa habis hutan di Pulau Enggano," imbuhnya.
Akademisi Kehutanan Unib, Dr. Gunggung Senoaji menambahkan daerah konservasi hutan yang ada di Enggano harus dipertahankan kualitas dan kuantitasnya. Keberadaan kawasan konservasi yang ada seluas 12,2 ribu hektare telah sesuai dengan aturan yang ada, bahwa 30 persen dari suatu kawasan harus diperuntukkan untuk daerah konservasi.
Hanya saja lanjutnya, yang menjadi ancaman saat ini adalah semakin bertambahnya penduduk. Mengingat, Enggano memiliki luas kawasan produktif sekitar 25.682 hektare, jika seandainya 60 persennya merupakan potensi kawasan produktif budidaya, maka dengan asumsi kebutuhan lahan untuk setiap Kepala Keluarga 1,5 hektare, daya tampung penduduk maksimum sekitar 51.364 jiwa.
"Enggano relatif aman soalnya ada aturan kayu Enggano tidak boleh ke luar, itu bagus ada aturan itu," ucap Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unib ini.
Meski saat ini kawasan hutan relatif aman karena ada sejumlah ketentuan adat namun status kawasan hutan sebagai areal perlindungan lingkungan dan sistem penyangga kehidupan harus diperjelas dengan pemancangan batas-batas hutan yang pasti. Sehingga berarti perlu dilakukan pengecekan kembali batas-batas hutan yang ada, terutama di kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan areal perkebunan masyarakat.
"Perluasan pembangunan lahan pertanian dan atau perkebunan akan mengancam keberadaan hutan jika tidak ada pal batas-pal batas yang jelas," terangnya.
Keberadaan aturan adat, kearifan lokal soal larangan membawa kayu keluar dari Pulau Enggano ikut diapresiasi Akar Foundation (organisasi non-profit dan non politis di Bengkulu).
"Membuktikan jika warga Enggano masih eksis. Masih menyakini nilai-nilai dan praktik hukum adat. Juga sebagai antisipasi kejahatan baik yang timbul dari luar maupun internal," ujar Manajer Program Akar Foundation, Pramasti Ayu Kusdinar.
Milson: Sahkan Perda Adat Enggano
Untuk menjaga kelangsungan hutan Enggano, Milson berharap perda adat dapat disahkan sebelum masa jabatan Bupati Bengkulu Utara, Mian berakhir. Sehingga perda adat tersebut dapat menjadi payung hukum penerapan sejumiah aturan adat khususnya larangan membuka kayu ke luar pulau dan pembukaan lahan untuk sawit
Sama halnya disampaikan Armaidi, raperda adat yang mereka usulkan bisa segera disahkan menjadi perda. Sehingga larangan kayu Enggano dibawa ke luar pulau dalam bentuk Batangan atau balok tidak hanya sekedar kesepakatan masyarakat adat saja, namun juga diakui pemerintah sehingga legalitasnya semakin kuat.
"Lengkap semua, termasuk soal larangan kayu dibawa ke luar pulau ada di raperda adat yang kita usulkan. Kita berharap raperda adat bisa terwujud," harap Armaidi.
Dukungan segera disahkannya perda adat Enggano juga disampaikan Manajer Program Akar Foundation, Pramasti Ayu Kusdinar.
Sebagai bentuk dukungan Akar Foundation terhadap aturan adat masyarakat Enggano, kini Akar memberikan pendampingan ke warga untuk meloloskan draft raperda hukum masyarakat adat Enggano yang sudah diusulkan sejak tahun 2016.
"Akar punya komitmen untuk mendukung percepatan penetapan raperda tentang pengukuhan, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Enggano," jelas Dinar panggilan akrabnya.
Akar Foundation meminta pemda kabupaten maupun provinsi bisa merespon dengan cepat atas draft raperda yang diusulkan warga Enggano. Akar berharap raperda bisa ditetapkan dan disahkan tahun ini juga.
Keberadaan perda bukan hanya ingin melindungi masyarakat Enggano secara entitas tapi juga untuk mengamankan hak-hak warga terhadap tanah, terhadap sumber daya alam mereka dari ancaman kerusakan.
"Perda itu bukan hanya memberikan perlindungan tapi juga memperkuat klaim masyarakat adat terhadap ruang hidup dan pengelolaan sumber daya alamnya, maka dari itu harus segera disahkan," tegas Dinar.
Akar sendiri sudah mendampingi masyarakat adat Enggano sekitar dua tahun. Selama observasi mereka, belum terdengar ada tangkapan kasus penyelundupan kayu dari Pulau Enggano. Namun demikian, menurut Dinar penyelundupan kayu tetap bisa menjadi ancaman bagi kelestarian hutan di Enggano.
"Fenomena penyelundupan kayu yang terjadi di banyak tempat untuk kepentingan ekonomi. Namun relasi hukum adat masyarakat Enggano itu lebih jauh kentara dengan Kawasan hutannya. Bukan hanya hukum adatnya saja yang kuat, kami melihat relasi mereka terhadap hutan itu bukan relasi ekonomi tapi relasi ritual," papar Dinar.

Waspadai Penyelundupan Kayu
Dukungan menjaga hutan Enggano juga dilakukan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. BKSDA sendiri juga berkolaborasi dengan masyarakat Enggano dalam upaya menjaga kelestarian hutan, Kawasan Cagar Alam (CA) dan Taman Buru yang kewenangannya ada pada BKSDA.
"Selama ini BKSDA dengan kepala-kepala suku, kepala adat hubungannya baik. Pernah juga kita dari KSDA membangun satu kesepakatan untuk melestarikan kawasan hutan di Enggano terutama kawasan konservasi di bawah pengelolaan BKSDA," kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bengkulu Said Jauhari.
Menurut Said yang juga perlu diwaspadai adalah penyelundupan kayu ke luar Enggano secara ilegal melalui kapal-kapal tongkang atau nelayan yang kerap melintas di perairan Enggano.
"Kayu berbentuk balok itu kan dilarang, tidak ada SKKHnya. Kalau ke luar dengan cara diselundupkan bisa saja terjadi. Modusnya macam-macam lewat kapal tongkang atau nelayan. Tapi sampai saat ini kita belum ada tangkapan untuk kayu yang diselundupkan," aku Said.
Di Enggano ada dua kawasan fungsi hutan yang dikelola BKSDA, yakni Cagar Alam Baheuwo dan Taman Buru Gunung Nanua. Dalam mengelola dan menjaga pelestarian kawasan konservasi ini, BKSDA juga melibatkan masyarakat Enggano khususnya warga di desa penyanggah, yakni Desa Kahyapu, Kaana dan Banjarsari.
Selain melakukan edukasi, BKSDA juga kerap melaksanakan patroli rutin dua kali dalam satu bulan. Masyarakat Enggano pun juga mendukung program KSDA.
"Ketika berbicara hutan, maka ada dua fungsi kawasan hutan yang menjadi kewenangan kita yaitu kawasan konservasi cagar alam dan Taman Buru. Namun jika berbicara mengenai satwa, mau di kawasan hutan yang di luar kewenangan kita maka itu tetap menjadi tanggungjawab BKSDA," beber Said.
Said juga menceritakan tentang rencana pembangunan jalan lingkar di Pulau Enggano melalui Program TMMD. Hanya saja karena dalam perencanaannya jalan dibangun akan melewati wilayah konservasi maka KSDA juga sudah mewanti-wanti sehingga pelaksanaannya belum terealisasi. Menurutnya, ada prosedur jika ingin membuka jalan lingkar melewati hutan konservasi, termasuk hutan lindung maupun HPT.
KSDA juga sudah mensosialisasikan kepada perangkat desa, kepala suku, pemerintahan setempat jika ada pembukaan jalan baru atau program ketahanan pangan tetap berkoordinasi dengan KSDA. Agar jangan sampai pembukaan jalan atau cetak sawah baru masuk dalam kawasan.
"Kita sudah edukasi juga ke warga, kalau ada tindakan ilegal laporkan. Kalau ada program pembuatan jalan usaha tani tetap koordinasi," ujar Said.
Senada disampaikan Camat Enggano Susanto, MD, SPd, jika pemerintah daerah mendukung adanya hukum adat terkait larangan membawa kayu berbentuk batangan ke luar Enggano. Termasuk soal aturan kayu sudah diolah dalam bentuk jadi yang menjadi syarat bisa dibawa keluar. Kayu jadi itu pun untuk penggunaan pribadi bukan untuk diperjualbelikan atau menjadi ladang bisnis.
"Hutan memang perlu diperhatikan dan dilestarikan. Kelestarian hutan juga terkait sumber daya air. Untuk pertanian saja, masyarakat ada aturannya tidak boleh menggarap atau membuka lahan di Kawasan hutan lindung dan konservasi. Kita forkopimca pun sangat mendukung aturan ini," jelas camat.
Bagi masyarakat Enggano yang membutuhkan kayu untuk membuat rumah di luar pulau seperti di Bengkulu itupun harus memiliki izin. Ada kesepakatan bersama dengan ketentuan-ketentuan, seperti membawa kayu dalam bentuk bahan jadi. Misalnya dalam bentuk kusen pintu, jendela, lemari, pintu, kursi.
"Harus ada surat jalan yang ditandatangani kepala desa, unsur tripika (camat, danramil posal) dan pabuki, baru kayu jadi itu bisa dibawa. Itu juga ada pengecekan betul, memang digunakan untuk rumah masyarakat Enggano di Bengkulu. Jangan sampai kita memperbolehkan tapi tahu-tahu itu diperjualbelikan," papar camat,
Untuk pohon atau kayu yang ditebang pun juga ada aturannya. Masyarakat Enggano dipersilahkan menebang pohon namun tetap ada syaratnya. Seperti tidak boleh mengambil kayu di Kawasan HL, Cagar Alam (CA), Taman Buru dan Hutan Produksi Terbatas (HPT), serta tidak boleh mengambil kayu 50 meter dari sepadan pantai.
"Kayu-kayu endemik Enggano seperti Merbau banyak di pinggiran pantai. Kualitasnya sangat terkenal dan nilai jualnya tinggi sama seperti Apua. Jika kayu-kayu ini ada dalam kawasan 50 meter di sepadan pantai maka tidak boleh ditebang," pungkasnya.
Artikel ini merupakan hasil fellowship program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerjasama AJI Indonesia dan DW Akademie dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi seluruh artikel merupakan tanggung jawab penulis.
enggano
berita bengkulu utara
Bengkulu Utara
Bengkulu
Hukum Adat
Pulau Enggano
Pulau Enggano Bengkulu
| Bupati Arie Tinjau Lokasi Banjir di Batik Nau Bengkulu Utara, Bantuan Segera Disalurkan |
|
|---|
| Potret Perjuangan Anak Desa Tanjung Genting Bengkulu Utara Berangkat Sekolah Melintasi Banjir |
|
|---|
| Banjir Rendam 4 Desa di Air Besi Bengkulu Utara Setinggi 1 Meter, Akses Jalan dan Sekolah Terdampak |
|
|---|
| BPBD Ditarik, Warga Desa Lebong Tandai Bengkulu Utara Gotong Royong Bersihkan Longsor di Jalur Molek |
|
|---|
| Tinjau Langsung Persediaan Beras, Bupati Bengkulu Utara Sidak Gudang Bulog |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bengkulu/foto/bank/originals/Danau-Bak-Blau-Enggano.jpg)