Berita Bengkulu Utara
Hukum Adat: Warisan Leluhur yang Melindungi Hutan Enggano
Raut wajah Armaidi (67) penuh semangat saat bercerita. Ia termenung sejenak, mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan perusahaan ‘pencuri kayu’
Penulis: Yunike Karolina | Editor: Yunike Karolina
TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU - Raut wajah Armaidi (67) penuh semangat saat bercerita. Ia termenung sejenak, mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan perusahaan ‘pencuri kayu’.
Meski baru pulang dari membersihkan kebun miliknya, kakek dari 11 cucu itu ramah menyambut kedatangan TribunBengkulu.com di kediamannya, Desa Meok Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.
Armaidi masih ingat, bagaimana hutan mereka di Desa Banjarsari dan Meok sekejap berubah menjadi labirin jalan setapak yang menganga.
Mesin gergaji berlomba mengoyak keheningan hutan, mengusik roh-roh leluhur yang dipercaya mendiami setiap sudut pulau. Pohon-pohon besar yang telah menjadi saksi bisu sejarah leluhur mereka ditebang tanpa ampun.
Kala itu, tahun 1998, PT. Enggano Dwipa Perkasa (EDP) masuk ke Enggano dengan dalih membuka perkebunan Melinjo (Gnetum gnemon, L) . Belakangan diketahui, rencana itu hanyalah modus untuk membabat hutan.
Tak ingin kehilangan sumber mata pencaharian, identitas dan nilai-nilai spiritualitas, masyarakat Enggano berontak. Mereka berinisiatif memblokade jalan menuju lokasi penebangan untuk mencegah truk-truk pengangkut kayu-kayu batangan ke luar dari pulau.
Bentrokan fisik antara masyarakat Enggano dan para pekerja perusahaan tak terelakan. Banyak pekerja tunggang langgang berlarian meninggalkan kayu-kayu batangan.
"Ternyata tujuannya itu mengambil kayu, ketahuan dengan warga lalu bentroklah dengan Suku Enggano," terang Ketua Suku Kauno Armaidi, Sabtu sore (20/7/2024).
Kecurigaan masyarakat Enggano terhadap PT. EDP berawal dari didapatnya kuasa ploting area seluas 10.000 hektare. Mulanya perusahaan berencana membuat usaha pakan ternak. Namun berubah menjadi perkebunan melinjo dengan melakukan penebangan hutan seluas 2.400 hektare.
"Saya perhatikan ketika itu kok narik dan angkut-angkut kayu. Kita protes menolak, ternyata di lokasi perusahaan itu ditemukan kayu-kayu menumpuk ada yang sebesar drum,” kenang Armaidi.
Pabuki Milson Kaitora (57) pun menyampaikan hal serupa.
Ketika terjadi konflik masyarakat Enggano dengan PT EDP, Milson saat itu masih muda. Namun ia masih mengingat perlawanan Ayahnya bersama masyarakat Enggano lainnya, memprotes keberadaan PT. EDP yang ditengarai hanya ingin mencuri kayu-kayu Enggano yang berkualitas.
Lantaran, lahan sudah dibuka namun bibit tidak kunjung ditanam. Kecurangan perusahaan ini pun terendus oleh Yayasan Karya Enggano yang saat itu diketuai Bungaran Kahruba, paman dari Milson.
Selidik punya selidik, mulai ditemukan orang-orang perusahaan yang sudah mengumpulkan kayu-kayu berbentuk gelondongan.
Masyarakat Enggano yang akhirnya mengetahui jika hutan Enggano dibuka hanya untuk diambil kayu, mulai melakukan aksi protes menolak keberadaan PT EDP. Lima kepala suku Enggano mengirim surat kepada Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam Negeri, untuk meminta penebangan hutan oleh PT. EDP dilarang dan harus dihentikan.
Tak sia-sia, meski harus berjuang hingga ke pengadilan namun masyarakat adat Enggano berhasil memenangkan gugatan tersebut.
“Kita pun menang di pengadilan, perusahaan kalah, gulung tikar. Sementara lahan yang dibuka sudah tumbuh lagi," kenangnya.
Diketahui, PT. EDP mengajukan dua surat permohonan pelepasan status hutan ke Departemen Kehutanan, pada tanggal 26 September 1991 dan Februari. Dalam suratnya, PT. EDP memohon pembebasan lahan 10.000 hektare. Luasan tersebut lebih dari 20 persen luas pulau Enggano.
Permohonan itu sebenarnya sudah ditolak Menteri Kehutanan dengan dasar Enggano merupakan kawasan pulau yang dicadangkan untuk fungsi hutan lindung serta Hutan Produksi Terbatas. Lokasi pembukaan lahan berada di wilayah Desa Banjarsari dan memanjang melintasi enam desa, yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, hingga Kahyapu.
Namun, bermodalkan surat izin prinsip dari Gubernur Bengkulu Abdullah Razie Jachya yang dikeluarkan pada tahun 1991, EDP mulai mendaratkan alat-alat berat ke hutan Enggano.
Ketika mulai “tertangkap tangan” perusahaan pun berusaha menghilangkan jejak dengan membakar kayu-kayu yang sudah dikumpulkan.
"Belajar dari kejadian EDP, (kami) jadi duduk bersama-sama berembuk, disepakati bersama tidak boleh kayu dibawa ke luar," ucap Milson.
Hukum Adat Masyarakat Enggano
Konflik PT. EDP menjadi memori pengingat yang tidak akan pernah dilupakan masyarakat adat Enggano. Sejak itu mereka mulai berpikir pentingnya menghidupkan kembali kesepakatan adat yang mengatur larangan kayu dari Enggano dibawa atau diperjualbelikan ke luar pulau.
Enam kepala suku dan pabuki (koordinator kepala suku) berembug di Eyub Yaahaoa (rumah adat suku Enggano).
Disepakati, aturan adat lama ketika ada warga Enggano ingin membuat rumah dan membuka lahan harus izin terlebih dulu ke ketua suku masing-masing. Kayu-kayu yang ditebang untuk membuat rumah dibatasi. Untuk membangun satu rumah paling banyak membutuhkan lima kubik kayu. Jika kayu yang ditebang memiliki ukuran yang besar-besar biasanya cukup dua batang saja.
"Kalau kayu dalam bentuk jadi seperti kusen rumah, pintu, jendela itu keperluan warga Enggano membuat rumah di Bengkulu itu diperbolehkan. Tapi tetap harus melengkapi administrasi surat menyuratnya juga.Tidak bisa sesuka kita langsung bawa apalagi dibawa bentuk balok," beber Armaidi.
Aturan ini, kata Armaidi berlaku termasuk untuk pendatang yang pindah dan menetap di Enggano. Jika ada yang melanggar selain kayu disita juga berlaku sanksi adat yang diputuskan lewat musyawarah adat.
Meski belum menjadi bentuk peraturan tertulis namun sudah disepakati dan diketahui masyarakat Enggano.
"Ini turun temurun ke anak cucu karena itu bersejarah. Tidak bisa semaunya orang membuka hutan dan menebang kayu. Bisa habis hutan kita, dan akibatnya Enggano bisa tenggelam," ungkap Armaidi.
"Pernah ada yang tertangkap tapi diselesaikan lewat adat," lanjutnya.
Aturan pembatasan penebangan kayu dan larangan kayu dibawa ke luar Pulau Enggano berlaku bukan hanya untuk pohon-pohon yang ada di hutan adat saja. Melainkan untuk seluruh kayu yang berada di Pulau Enggano, kawasan HL, cagar alam, taman buru.
Untuk pohon di hutan adat sama sekali tidak boleh ditebang. Seperti halnya pohon-pohon yang berada masuk di Kawasan HL, cagar alam, taman buru. Tidak boleh ada yang mengelola, membuka tanah adat, termasuk mengambil kayu di tanah adat tidak boleh
"Setiap suku punya tanah adat, tempatnya berbeda. Dibilang tanah adat karena itu peninggalan leluhur kita tempat kampung halaman," jelasnya.
Milson menegaskan selain itu juga berlaku aturan untuk proyek pembangunan dengan nilai proyek di atas Rp500 juta, tidak diperbolehkan menggunakan material dari Enggano.
“Jadi untuk membangun proyek-proyek memang materialnya semua dari luar. Baik kayu, pasir maupun bahan-bahan lainnya. Hal ini diterapkan untuk menjaga keberlangsungan Pulau Enggano,” kata Milson.
Pembukaan Lahan di Pulau Enggano
Pulau Enggano berada di sebelah Barat Daya Kota Bengkulu. Secara administratif Enggano masuk kawasan Kabupaten Bengkulu Utara dengan luas mencapai 400,6 km⊃2; atau sekitar 39 ribu hektare.
Ada enam desa di Pulau Enggano, yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Dengan enam suku masyarakat adat yang mendiami Enggano, yakni Kaitora, Kaahoao, Kaarubi, Kaharuba, Kauno, dan Kaamay. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai nelayan dan petani.
Setiap suku di Enggano mempunyai kepala suku atau dikenal dengan kap kaudar. Suku Kauno, terdiri dari Kap Kaudar Kapururu, Kap Kaudar Ka’duai dan Kap Kaudar Nahyeah-Pabuuy. Lalu suku Kaitora, terdiri dari hanya satu Kap Kaudar yaitu Kap Kaudar Kaitora.
Ada juga Suku Kaarubi, terdiri dari tiga kap kaudar, yaitu Kap Laudar Ahipe, Kap Kaudar Abobo dan Kap Kaudar Kaanaine. Suku Kaharuba, hanya terdiri dari satu kap kaudar, yaitu Kap Kaudar Kaharuba.
Sementara Suku Kaahoao, terdiri dari empat kap kaudar, yaitu Kap Kaudar Bok, Kap Kaudar Kapuiheu, Kap Kaudar Kakore, dan Kap Kaudar Yamu’i. Suku Kaamay, terdiri dari dari dua bagian wilayah, yaitu wilayah bagian barat dan wilayah bagian timur.
Bagi masyarakat adat Enggano, hutan merupakan sebagai sumber kehidupan. Kawasan hutan di Enggano berdasarkan fungsinya terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, cagar alam dan taman buru. Enggano, memiliki habitat hutan hujan tropis dengan beberapa jenis kayu komersial. Seperti Merbau (Instsia bijuga), Kasai (Pometia pinnata), Pakaror (Shorea macroptera), Bintangur (Calophyllum inophyllum), dan Apua (Kommpassia malaccensis).
Ada dua kayu endemik di Enggano yang berkualitas dan memiliki nilai tinggi, yakni kayu Apua dan Merbau. Kebanyakan kayu untuk membangun rumah adalah jenis kayu Apua karena merupakan kayu paling bagus dan tahan. Sementara merbau untuk konstruksi jembatan.
Data Global Forest Watch menunjukan, dalam dua tahun terakhir deforestasi atau pembukaan tutupan hutan di Pulau Enggano terjadi cukup signifikan. Terbesar di Desa Banjarsari, lalu Kaana dan Kahyapu. Tahun 2022 total luas tutupan hutan hilang baik di dalam atau luar kawasan hutan ada seluas 215,26 Hektare. Di tahun 2023 angkanya melonjak menjadi 1302, 44 hektare.

Milson tidak menapik, adanya pembukaan lahan di luar kawasan dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut untuk mendukung program pemerintah seperti transmigrasi dan cetak sawah baru.
Selain itu, pernah juga terjadi kebakaran besar di tahun 2019, lahan masyarakat, hutan tua terbakar karena disebabkan orang membuka lahan dengan cara dibakar lalu apinya menyebar.
"Program cetak sawah minta persetujuan dulu dengan kita, karena memang untuk kepentingan masyarakat, dan asal jangan dialihfungsikan, cetak sawah memang cetak sawah untuk tanaman padi tidak boleh di luar itu. Komoditi yang dilarang itu tanaman sawit," tegasnya.
Saat ini kata Milson, ada dua kekhawatiran, yaitu pembukaan jalan yang membelah pulau tidak sesuai aturan termasuk melewati tanah ulayat yang tidak boleh dibuka. Kemudian pembukaan lahan di dekat mata air terbesar di Enggano atau yang saat ini menjadi sumber air PDAM yang berada di Desa Malakoni.
Pembukaan lahan di dekat sumber mata air terbesar di Pulau Enggano ini sudah dilaporkan warga. Ditindaklanjuti oleh pabuki dengan mengkonfirmasi langsung ke Kades Malakoni. Dari keterangan kades, ia tidak memberikan izin pembukaan lahan di dekat sumber mata air tak jauh dari PDAM. Sehingga paabuki meminta minta kades agar menyelesaikan persoalan pembukaan lahan tak jauh dari sumber mata air.
"Karena yang saya pelajari, jika ada lahan dibuka dekat mata air maka debit airnya bisa berkurang. Seperti dekat rumah kita ini kalau dulu kemarau tiga bulan mata airnya baru kering, dalam satu tahun bisa dua kali bersawah,”.
“Sekarang hanya satu kali dan itupun sudah repot. Karena itu jangan sampai terulang pembukaan lahan di sumber mata air di Desa Malakoni," jelasnya.
Pabuki juga mengingatkan kades agar berhati-hati saat memberikan izin pembukaan lahan apalagi masuk dalam kawasan tanah ulayat. Jangan sampai ada pembukaan lahan tidak sesuai aturan.
"Tanah ulayat tidak boleh dibuka tapi kalau untuk dikelola sebagai tempat wisata boleh-boleh saja. Itupun harus dibiarkan alami tidak ada satupun pohon yang ditebang," paparnya.


Hukum Adat Benteng Konservasi di Enggano
Akademisi Konservasi Sumber Daya Hutan, Universitas Bengkulu, Dr. Erniwati, merespon kearifan lokal yang masih dipegang teguh masyarakat adat Enggano sebagai sebuah keunikan yang khas. Hal ini menurutnya menjadi kekuatan lokal dalam upaya mempertahankan ekosistem hutan itu sendiri. Di mana paradigma perlindungan hutan itu yakni pemberdayaan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan, karena pemerintah saja tidak akan sanggup.
"Hukum adat di Enggano itu unik. Jarang kan yang ada aturan larangan membawa kayu ke luar pulau. Saya kan orang konservasi jadi kita selalu mengangkat bagaimana kearifan lokal masyarakat itu dalam praktik konservasi. Paling lestari untuk melestarikan karena berakar dari masyarakat itu sendiri," ungkapnya
Erni menyoroti beberapa ketentuan adat yang mengatur relasi manusia kelestarian hutan di Enggano, di antaranya larangan menebang pohon bakau (mangrove). Masyarakat yang menebang pohon mangrove akan dikenakan denda dengan membayar Rp700.000 per pohon. Hal ini berlaku karena sebagian besar masyarakat telah memahami bahwa pohon bakau adalah kawasan pelindung pulau.
Kemudian membuka kebun hanya diperbolehkan pada jarak tiga km dari jalan raya utama. Lebih dari itu merupakan kawasan yang ditetapkan adat sebagai kawasan perlindungan.
“Termasuk larangan mengeluarkan kayu ke luar pulau. jika tidak ada aturan ini bisa habis hutan di Pulau Enggano," imbuhnya.
Akademisi Kehutanan Unib, Dr. Gunggung Senoaji menambahkan daerah konservasi hutan yang ada di Enggano harus dipertahankan kualitas dan kuantitasnya. Keberadaan kawasan konservasi yang ada seluas 12,2 ribu hektare telah sesuai dengan aturan yang ada, bahwa 30 persen dari suatu kawasan harus diperuntukkan untuk daerah konservasi.
Hanya saja lanjutnya, yang menjadi ancaman saat ini adalah semakin bertambahnya penduduk. Mengingat, Enggano memiliki luas kawasan produktif sekitar 25.682 hektare, jika seandainya 60 persennya merupakan potensi kawasan produktif budidaya, maka dengan asumsi kebutuhan lahan untuk setiap Kepala Keluarga 1,5 hektare, daya tampung penduduk maksimum sekitar 51.364 jiwa.
"Enggano relatif aman soalnya ada aturan kayu Enggano tidak boleh ke luar, itu bagus ada aturan itu," ucap Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unib ini.
Meski saat ini kawasan hutan relatif aman karena ada sejumlah ketentuan adat namun status kawasan hutan sebagai areal perlindungan lingkungan dan sistem penyangga kehidupan harus diperjelas dengan pemancangan batas-batas hutan yang pasti. Sehingga berarti perlu dilakukan pengecekan kembali batas-batas hutan yang ada, terutama di kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan areal perkebunan masyarakat.
"Perluasan pembangunan lahan pertanian dan atau perkebunan akan mengancam keberadaan hutan jika tidak ada pal batas-pal batas yang jelas," terangnya.
Keberadaan aturan adat, kearifan lokal soal larangan membawa kayu keluar dari Pulau Enggano ikut diapresiasi Akar Foundation (organisasi non-profit dan non politis di Bengkulu).
"Membuktikan jika warga Enggano masih eksis. Masih menyakini nilai-nilai dan praktik hukum adat. Juga sebagai antisipasi kejahatan baik yang timbul dari luar maupun internal," ujar Manajer Program Akar Foundation, Pramasti Ayu Kusdinar.
Milson: Sahkan Perda Adat Enggano
Untuk menjaga kelangsungan hutan Enggano, Milson berharap perda adat dapat disahkan sebelum masa jabatan Bupati Bengkulu Utara, Mian berakhir. Sehingga perda adat tersebut dapat menjadi payung hukum penerapan sejumiah aturan adat khususnya larangan membuka kayu ke luar pulau dan pembukaan lahan untuk sawit
Sama halnya disampaikan Armaidi, raperda adat yang mereka usulkan bisa segera disahkan menjadi perda. Sehingga larangan kayu Enggano dibawa ke luar pulau dalam bentuk Batangan atau balok tidak hanya sekedar kesepakatan masyarakat adat saja, namun juga diakui pemerintah sehingga legalitasnya semakin kuat.
"Lengkap semua, termasuk soal larangan kayu dibawa ke luar pulau ada di raperda adat yang kita usulkan. Kita berharap raperda adat bisa terwujud," harap Armaidi.
Dukungan segera disahkannya perda adat Enggano juga disampaikan Manajer Program Akar Foundation, Pramasti Ayu Kusdinar.
Sebagai bentuk dukungan Akar Foundation terhadap aturan adat masyarakat Enggano, kini Akar memberikan pendampingan ke warga untuk meloloskan draft raperda hukum masyarakat adat Enggano yang sudah diusulkan sejak tahun 2016.
"Akar punya komitmen untuk mendukung percepatan penetapan raperda tentang pengukuhan, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Enggano," jelas Dinar panggilan akrabnya.
Akar Foundation meminta pemda kabupaten maupun provinsi bisa merespon dengan cepat atas draft raperda yang diusulkan warga Enggano. Akar berharap raperda bisa ditetapkan dan disahkan tahun ini juga.
Keberadaan perda bukan hanya ingin melindungi masyarakat Enggano secara entitas tapi juga untuk mengamankan hak-hak warga terhadap tanah, terhadap sumber daya alam mereka dari ancaman kerusakan.
"Perda itu bukan hanya memberikan perlindungan tapi juga memperkuat klaim masyarakat adat terhadap ruang hidup dan pengelolaan sumber daya alamnya, maka dari itu harus segera disahkan," tegas Dinar.
Akar sendiri sudah mendampingi masyarakat adat Enggano sekitar dua tahun. Selama observasi mereka, belum terdengar ada tangkapan kasus penyelundupan kayu dari Pulau Enggano. Namun demikian, menurut Dinar penyelundupan kayu tetap bisa menjadi ancaman bagi kelestarian hutan di Enggano.
"Fenomena penyelundupan kayu yang terjadi di banyak tempat untuk kepentingan ekonomi. Namun relasi hukum adat masyarakat Enggano itu lebih jauh kentara dengan Kawasan hutannya. Bukan hanya hukum adatnya saja yang kuat, kami melihat relasi mereka terhadap hutan itu bukan relasi ekonomi tapi relasi ritual," papar Dinar.

Waspadai Penyelundupan Kayu
Dukungan menjaga hutan Enggano juga dilakukan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. BKSDA sendiri juga berkolaborasi dengan masyarakat Enggano dalam upaya menjaga kelestarian hutan, Kawasan Cagar Alam (CA) dan Taman Buru yang kewenangannya ada pada BKSDA.
"Selama ini BKSDA dengan kepala-kepala suku, kepala adat hubungannya baik. Pernah juga kita dari KSDA membangun satu kesepakatan untuk melestarikan kawasan hutan di Enggano terutama kawasan konservasi di bawah pengelolaan BKSDA," kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bengkulu Said Jauhari.
Menurut Said yang juga perlu diwaspadai adalah penyelundupan kayu ke luar Enggano secara ilegal melalui kapal-kapal tongkang atau nelayan yang kerap melintas di perairan Enggano.
"Kayu berbentuk balok itu kan dilarang, tidak ada SKKHnya. Kalau ke luar dengan cara diselundupkan bisa saja terjadi. Modusnya macam-macam lewat kapal tongkang atau nelayan. Tapi sampai saat ini kita belum ada tangkapan untuk kayu yang diselundupkan," aku Said.
Di Enggano ada dua kawasan fungsi hutan yang dikelola BKSDA, yakni Cagar Alam Baheuwo dan Taman Buru Gunung Nanua. Dalam mengelola dan menjaga pelestarian kawasan konservasi ini, BKSDA juga melibatkan masyarakat Enggano khususnya warga di desa penyanggah, yakni Desa Kahyapu, Kaana dan Banjarsari.
Selain melakukan edukasi, BKSDA juga kerap melaksanakan patroli rutin dua kali dalam satu bulan. Masyarakat Enggano pun juga mendukung program KSDA.
"Ketika berbicara hutan, maka ada dua fungsi kawasan hutan yang menjadi kewenangan kita yaitu kawasan konservasi cagar alam dan Taman Buru. Namun jika berbicara mengenai satwa, mau di kawasan hutan yang di luar kewenangan kita maka itu tetap menjadi tanggungjawab BKSDA," beber Said.
Said juga menceritakan tentang rencana pembangunan jalan lingkar di Pulau Enggano melalui Program TMMD. Hanya saja karena dalam perencanaannya jalan dibangun akan melewati wilayah konservasi maka KSDA juga sudah mewanti-wanti sehingga pelaksanaannya belum terealisasi. Menurutnya, ada prosedur jika ingin membuka jalan lingkar melewati hutan konservasi, termasuk hutan lindung maupun HPT.
KSDA juga sudah mensosialisasikan kepada perangkat desa, kepala suku, pemerintahan setempat jika ada pembukaan jalan baru atau program ketahanan pangan tetap berkoordinasi dengan KSDA. Agar jangan sampai pembukaan jalan atau cetak sawah baru masuk dalam kawasan.
"Kita sudah edukasi juga ke warga, kalau ada tindakan ilegal laporkan. Kalau ada program pembuatan jalan usaha tani tetap koordinasi," ujar Said.
Senada disampaikan Camat Enggano Susanto, MD, SPd, jika pemerintah daerah mendukung adanya hukum adat terkait larangan membawa kayu berbentuk batangan ke luar Enggano. Termasuk soal aturan kayu sudah diolah dalam bentuk jadi yang menjadi syarat bisa dibawa keluar. Kayu jadi itu pun untuk penggunaan pribadi bukan untuk diperjualbelikan atau menjadi ladang bisnis.
"Hutan memang perlu diperhatikan dan dilestarikan. Kelestarian hutan juga terkait sumber daya air. Untuk pertanian saja, masyarakat ada aturannya tidak boleh menggarap atau membuka lahan di Kawasan hutan lindung dan konservasi. Kita forkopimca pun sangat mendukung aturan ini," jelas camat.
Bagi masyarakat Enggano yang membutuhkan kayu untuk membuat rumah di luar pulau seperti di Bengkulu itupun harus memiliki izin. Ada kesepakatan bersama dengan ketentuan-ketentuan, seperti membawa kayu dalam bentuk bahan jadi. Misalnya dalam bentuk kusen pintu, jendela, lemari, pintu, kursi.
"Harus ada surat jalan yang ditandatangani kepala desa, unsur tripika (camat, danramil posal) dan pabuki, baru kayu jadi itu bisa dibawa. Itu juga ada pengecekan betul, memang digunakan untuk rumah masyarakat Enggano di Bengkulu. Jangan sampai kita memperbolehkan tapi tahu-tahu itu diperjualbelikan," papar camat,
Untuk pohon atau kayu yang ditebang pun juga ada aturannya. Masyarakat Enggano dipersilahkan menebang pohon namun tetap ada syaratnya. Seperti tidak boleh mengambil kayu di Kawasan HL, Cagar Alam (CA), Taman Buru dan Hutan Produksi Terbatas (HPT), serta tidak boleh mengambil kayu 50 meter dari sepadan pantai.
"Kayu-kayu endemik Enggano seperti Merbau banyak di pinggiran pantai. Kualitasnya sangat terkenal dan nilai jualnya tinggi sama seperti Apua. Jika kayu-kayu ini ada dalam kawasan 50 meter di sepadan pantai maka tidak boleh ditebang," pungkasnya.
Artikel ini merupakan hasil fellowship program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerjasama AJI Indonesia dan DW Akademie dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi seluruh artikel merupakan tanggung jawab penulis.
enggano
berita bengkulu utara
Bengkulu Utara
Bengkulu
Hukum Adat
Pulau Enggano
Pulau Enggano Bengkulu
| Bupati Arie Tinjau Lokasi Banjir di Batik Nau Bengkulu Utara, Bantuan Segera Disalurkan |
|
|---|
| Potret Perjuangan Anak Desa Tanjung Genting Bengkulu Utara Berangkat Sekolah Melintasi Banjir |
|
|---|
| Banjir Rendam 4 Desa di Air Besi Bengkulu Utara Setinggi 1 Meter, Akses Jalan dan Sekolah Terdampak |
|
|---|
| BPBD Ditarik, Warga Desa Lebong Tandai Bengkulu Utara Gotong Royong Bersihkan Longsor di Jalur Molek |
|
|---|
| Tinjau Langsung Persediaan Beras, Bupati Bengkulu Utara Sidak Gudang Bulog |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bengkulu/foto/bank/originals/Danau-Bak-Blau-Enggano.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.