OTT KPK di Riau

Skandal ‘Jatah Preman’ Riau ala Abdul Wahid, Anak Buah Dikorbankan Gubernur Foya-foya

Pada Senin malam, 3 November 2025, tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pekanbaru.

Editor: Hendrik Budiman
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
PENETAPAN TERSANGKA - Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau M. Arief Setiawan (kanan) dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam (kiri) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). KPK resmi menahan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua tersangka lainnya dan mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 1,6 miliar dalam operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus dugaan pemerasan dan suap dalam penganggaran proyek infrastruktur di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Provinsi Riau. 
Ringkasan Berita:
  • Pada Senin malam, 3 November 2025, tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pekanbaru.
  • Wahid ditangkap bersama dua orang kepercayaannya yakni, Muhammad Arief Setiawan, Kepala Dinas PUPR PKPPDani M. Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur yang juga mantan Ketua DPRD Riau sekaligus tokoh senior PKB
  • KPK menyebut dana hasil pemerasan digunakan untuk membiayai perjalanan Abdul Wahid ke luar negeri.

 

TRIBUNBENGKULU.COM - Di balik operasi tangkap tangan KPK terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid, terkuak dugaan skema ‘jatah preman’ yang mengalir ke kantong pribadi. 

Ironisnya, anak buahnya justru dijadikan tameng saat sang gubernur diduga menikmati hasil korupsi untuk gaya hidup mewah.

Pada Senin malam, 3 November 2025, tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pekanbaru.

Wahid ditangkap bersama dua orang kepercayaannya yakni, Muhammad Arief Setiawan, Kepala Dinas PUPR PKPPDani M. Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur yang juga mantan Ketua DPRD Riau sekaligus tokoh senior PKB.

Ketiganya kini menjalani pemeriksaan intensif di Gedung Merah Putih KPK. Tujuh orang lain turut diamankan, namun dilepaskan setelah penyidik tidak menemukan bukti keterlibatan langsung dalam dugaan suap tersebut.

Baca juga: Klarifikasi SF Hariyanto Tegas Bantah Tudingan Jadi Pelapor Gubernur Riau Abdul Wahid ke KPK

Ironisnya, Wahid yang juga menjabat Ketua DPW PKB Riau, kini menjadi simbol betapa cepatnya janji integritas bisa runtuh di hadapan godaan kekuasaan.

Barang bukti berupa dokumen, alat komunikasi, dan uang tunai senilai Rp1,6 miliar turut diamankan dalam OTT itu.

Uang itu terdiri dari pecahan rupiah, dolar Amerika Serikat, dan pound sterling, ditemukan di lokasi berbeda di Riau dan Jakarta.

Penangkapan ini menjadi titik awal pengungkapan skandal korupsi pemerasan bermodus “jatah preman” alias “japrem”, yang secara resmi tercatat sebagai perkara dugaan pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

Skema ini diduga telah berlangsung sejak awal masa jabatan Abdul Wahid sebagai gubernur.

Minta Fee Sejak Awal Menjabat, Kode “7 Batang”

KPK mengungkap, sejak awal menjabat sebagai Gubernur Riau, Abdul Wahid telah membangun pola komunikasi yang menekankan loyalitas mutlak dari jajarannya.

Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut Wahid langsung mengumpulkan seluruh SKPD, termasuk kepala dinas dan staf.

"Jadi, awal menjabat, dia sudah mengumpulkan seluruh SKPD termasuk dengan kepala-kepala dan staf-stafnya. Salah satu yang dikumpulkan adalah kepala-kepalanya di Dinas PUPR termasuk Kepala UPT Jalan dan Jembatan," ujar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).

“Saat dikumpulkan itulah, yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa mataharinya adalah satu, harus tegak lurus kepada mataharinya, artinya kepada Gubernur,” lanjutnya.

Ancaman evaluasi bagi yang tidak patuh dipahami sebagai risiko mutasi atau pencopotan jabatan.

Setelah itu, Wahid mulai meminta fee 5 persen dari nilai proyek infrastruktur di Dinas PUPR-PKPP, melalui Kepala Dinas M. Arief Setiawan.

Total nilai proyek mencapai Rp177,4 miliar, naik dari Rp71,6 miliar.

Wahid diduga mengincar jatah Rp7 miliar, dengan setoran yang telah diterima mencapai Rp4,05 miliar. Permintaan itu dikemas dalam istilah internal “7 batang”.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyebut praktik ini sebagai bentuk pemerasan sistematis.

“Permintaan ini dikenal sebagai ‘jatah preman’. Jika tidak dipenuhi, kepala UPT diancam dimutasi atau dicopot,” tegas Johanis.

Anak Buah Terpaksa Gadai Sertifikat

Ironisnya, uang yang disetor ke Abdul Wahid bukan berasal dari anggaran resmi atau pihak ketiga, melainkan dari kantong pribadi para kepala UPT.

Beberapa di antaranya bahkan harus meminjam ke bank dan menggadaikan sertifikat tanah demi memenuhi permintaan tersebut.

Situasi ini terjadi di tengah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau yang mencapai Rp2,5 triliun.

Namun, tekanan dari atasan membuat mereka tak punya pilihan.

“Ada yang pakai uang pribadi, ada yang pinjam, bahkan ada yang gadai sertifikat,” ungkap Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu.

Uang Setoran Dipakai untuk Lawatan ke Luar Negeri

KPK menyebut dana hasil pemerasan digunakan untuk membiayai perjalanan Abdul Wahid ke luar negeri.

Beberapa negara yang telah dikunjungi antara lain Inggris dan Brasil. 

Ia juga dijadwalkan ke Malaysia, namun rencana itu batal karena keburu ditangkap KPK.

“Ada uang dalam bentuk pound sterling. Itu terkait lawatan ke Inggris. Dana dikumpulkan oleh tenaga ahlinya, Dani M. Nursalam,” ujar Asep Guntur.

KPK Curiga Pola Serupa di Dinas Lain

KPK tidak menutup kemungkinan bahwa pola pemerasan serupa terjadi di dinas lain di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Lembaga antirasuah itu kini tengah menelusuri aliran dana dan komunikasi antara Abdul Wahid dan pejabat lainnya.

“Kami akan dalami apakah pola ini terjadi di SKPD lain. Jika ditemukan bukti, tentu akan kami tindak lanjuti,” tegas Asep Guntur.

Berganti Rompi Oranye

Usai menjalani pemeriksaan dan ditetapkan sebagai tersangka pasca-terjaring OTT KPK di Gedung Merah Putih Jakarta, Abdul Wahid dan dua tersangka lainnya akhirnya ditahan di Rumah Tahanan KPK untuk 20 hari pertama.

Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.

KPK juga menyebut bahwa total dugaan penerimaan Abdul Wahid dari berbagai proyek bisa mencapai Rp22,5 miliar.

Cak Imin Tak Ingin Terulang Lagi

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menilai kasus ini harus jadi pelajaran bagi seluruh kader dan kepala daerah.

“Semua harus belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi,” ujar Muhaimin di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Ia menyebut belum ada permintaan bantuan hukum dari Abdul Wahid. Soal statusnya sebagai Ketua DPW PKB Riau, partai akan menunggu proses internal.

“Belum ada permintaan (bantuan hukum). Ya pasti akan ada proses internal,” tambahnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal mendorong agar proses penyelidikan dilakukan secara terbuka dan menyeluruh.

Ia menekankan pentingnya mengungkap secara terang siapa saja pihak yang terlibat.

Hingga artikel ini ditulis, Tribunnews belum memperoleh tanggapan resmi dari Abdul Wahid maupun kuasa hukumnya.

Sumpah Jabatan Bukan Seremoni
Kasus ini menjadi pengingat bahwa sumpah jabatan bukan sekadar seremoni, melainkan komitmen hukum dan moral yang harus dijaga.

Di tengah harapan publik terhadap integritas kepala daerah, skandal ini menegaskan pentingnya pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap jenjang pemerintahan.

 

Artikel ini telah tayang di TribunPekanbaru.com 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved