Purbaya Yudhi Sadewa
Apa Itu Redenominasi Rupiah, Mengapa Penting dan Apa Masalahnya? Menkeu Purbaya Targetkan Tahun 2027
Menkeu Purbaya targetkan redenominasi rupiah rampung 2027. Apa itu, urgensinya, dan tantangan yang harus dihadapi masyarakat?
Ringkasan Berita:
- Pemerintah menyiapkan RUU Redenominasi rupiah, target selesai 2027, di bawah tanggung jawab DJPb Kemenkeu.
- Redenominasi berarti penyederhanaan nominal rupiah tanpa mengubah nilai riil; tiga nol akan dihapus.
- Empat urgensi utama: efisiensi perekonomian, kesinambungan ekonomi, stabilitas nilai rupiah, dan peningkatan kredibilitas mata uang.
TRIBUNBENGKULU.COM - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah pada 2027, menghidupkan kembali wacana lama yang sudah bergulir lebih dari satu dekade.
Redenominasi akan menghapus tiga nol dari nominal rupiah, seperti menjadikan Rp 1.000 setara Rp 1, tanpa mengubah daya beli masyarakat.
Hal itu ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025.
Purbaya menyebut ada urgensi atau keharusan RUU Redenominasi dituntaskan.
Dilansir dari Kompas.com, Minggu (9/11) ada empat urgensi pembentukan RUU Redenominasi.
Pertama ialah efisiensi perekonomian yang dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional.
Kedua, menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional.
Ketiga, menjaga nilai rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat.
Terakhir, keempat, meningkatkan kredibilitas rupiah.
Diketahui, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang dengan cara menghapus beberapa angka nol di belakang nominal rupiah tanpa mengubah nilai riil atau daya beli masyarakat.
Seperti contohnya, uang Rp 1.000 akan menjadi Rp 1 dan Rp 100.000 nantinya menjadi Rp 100.
Dilaporkan dalam RUU Redenominasi, tentang Perubahan Harga Rupiah ini ditargetkan rampung pada 2027.
Berdasarkan beleid itu, penyusunan RUU Redenominasi menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan.
"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027," tulis PMK tersebut, dikutip Jumat (7/11/2025).
Langkah ini dianggap penting untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, menjaga stabilitas nilai rupiah, memperkuat kredibilitas mata uang, serta menyederhanakan transaksi di era digital, meski tantangan utamanya terletak pada kesiapan masyarakat memahami perubahan angka dan literasi keuangan.
Dari efisiensi transaksi hingga persepsi nilai, setiap aspek menjadi kunci keberhasilan implementasi.
Selanjutnya, TribunBengkulu.com merinci apa itu redenominasi, urgensinya bagi perekonomian, serta tantangan yang mungkin muncul selama proses transisi menuju rupiah baru.
Apa Itu Redenominasi Rupiah dan Risikonya?
Guru Besar Ilmu Manajemen dan Dosen Program Studi Doktor Manajemen Berkelanjutan Institut Perbanas, Steph Subanidja, menulis untuk Kompas.com, ia mengatakan bahwa redenominasi rupiah bukanlah wacana yang muncul tiba-tiba.
Wacana ini sudah ada lebih dari satu dekade, diperkenalkan pada masa Agus Martowardojo, bergulir kembali saat era Sri Mulyani, dan kini muncul lewat inisiatif Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, dengan target penyelesaian RUU pada 2027.
Inti dari redenominasi adalah penghilangan tiga nol. Seribu rupiah akan menjadi satu rupiah.
Namun, perubahan terbesar bukan terletak pada uangnya, melainkan pada kesiapan masyarakat dalam menghadapi cara baru memandang angka.
Secara konsep, redenominasi hanyalah penyederhanaan penulisan rupiah tanpa mengubah nilai riilnya.
Misalnya, uang Rp 10.000 yang kita pegang saat ini akan menjadi Rp 10 setelah redenominasi, namun daya beli tetap sama.
Krugman dan Obstfeld (2018) menjelaskan bahwa sistem keuangan yang efisien membutuhkan denominasi yang ringkas, terutama dalam transaksi digital, pencatatan akuntansi, dan sistem perbankan.
Dengan modernisasi sistem keuangan Indonesia—seperti QRIS, mobile banking, dan real-time payments—nol panjang mulai menjadi beban administratif, bukan kebutuhan.
Penting dibedakan antara redenominasi dan sanering.
Sanering memotong nilai uang sehingga daya beli berkurang, sedangkan redenominasi hanya mengganti cara penulisan tanpa menyentuh nilai riil.
Beberapa negara, termasuk Turki, Rumania, dan Rusia, berhasil melakukan redenominasi untuk menyederhanakan transaksi dan memperbaiki persepsi internasional terhadap mata uang mereka (Akyaz & Aknc, 2020).
Indonesia kini berada pada tahap serupa.
Urgensi redenominasi meningkat karena faktor psikologis masyarakat menghadapi fenomena nominal illusion—persepsi salah bahwa harga barang mahal hanya karena angka yang besar (Shafir, 1997).
Dengan harga sehari-hari yang ditulis dalam jutaan atau miliaran, muncul kesan bahwa ekonomi terlalu mahal, padahal daya beli riil tidak berubah.
Redenominasi menghilangkan bias ini dan membuat persepsi harga lebih realistis.
Dari sisi teknologi, sistem pembayaran kini berbasis digital, bukan lagi kertas. Nol panjang meningkatkan risiko kesalahan input dan biaya administrasi transaksi (Graf & Li, 2021).
Di era ekonomi digital real-time, nominal panjang menjadi hambatan efisiensi.
Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, penyederhanaan nominal rupiah menjadi konsekuensi logis.
Secara kredibilitas internasional, Mankiw (2021) menegaskan bahwa mata uang dengan denominasi ringkas dipandang lebih stabil dan modern.
Negara yang bertransformasi menuju kelompok berpendapatan tinggi cenderung merapikan denominasi sebagai bagian dari penguatan reputasi keuangan. Indonesia kini sedang menuju tahap tersebut.
Meski secara ekonomi redenominasi tidak menurunkan nilai uang, tantangan utamanya ada pada persepsi masyarakat.
Akyaz dan Aknc (2020) mencatat bahwa di Turki masyarakat sempat salah paham karena angka pada struk tiba-tiba menjadi kecil.
Dalam teori perilaku keuangan, manusia lebih takut pada apa yang terlihat seperti “kerugian”, meski tidak ada kerugian riil (Kahneman & Tversky, 2013).
Jika sosialisasi tidak tepat, perubahan nominal dapat memicu kecemasan, spekulasi, atau hoaks, misalnya isu bahwa “uang mengecil”.
Ada pula risiko inflasi psikologis, jika pecahan kecil tidak tersedia atau pedagang salah membulatkan harga, barang Rp 1.200 bisa menjadi Rp 2 setelah redenominasi, sehingga konsumen dirugikan.
Keberhasilan redenominasi bukan hanya soal aturan pemerintah, tetapi juga kesiapan pelaku usaha, kasir, UMKM, hingga pedagang kelontong.
Masa transisi tidak berlangsung semalam. Akan ada periode dua harga—lama dan baru—agar masyarakat adaptif.
Pelaku usaha harus menyesuaikan sistem pembukuan, mesin kasir, aplikasi digital, dan tanda harga barang. Kesalahan satu nol bisa mengubah keuntungan menjadi kerugian.
Bagi masyarakat umum, literasi keuangan menjadi kunci.
Tabungan, gaji, cicilan, dan deposito akan tampil dengan angka lebih kecil, tetapi nilainya tetap sama.
Media dan institusi pendidikan perlu memastikan masyarakat memahami, bukan bingung.
Redenominasi tidak menjanjikan ekonomi langsung membaik, tetapi menciptakan fondasi psikologis dan teknis bagi sistem moneter yang lebih modern: transaksi lebih cepat, pencatatan ringkas, dan persepsi nilai lebih rasional.
Jika berhasil, rupiah baru akan menjadi simbol kedewasaan ekonomi Indonesia.
Jika gagal, tiga nol yang hilang bisa memicu sejuta kecurigaan.
Yang diuji bukan rupiahnya, tetapi kemampuan kita memahami nilai.
Angka berubah, maknanya tetap. Kepercayaan publik menjadi kunci.
Jika masyarakat siap, perubahan ini bisa menjadi langkah maju dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Jika tidak, perubahan simbolik ini justru menimbulkan kebingungan kolektif.
Rupiah tanpa nol panjang bukan mimpi, melainkan menunggu kesiapan kita menyambutnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
| Akhirnya! Menkeu Purbaya Minta Maaf ke Kementerian Lain dan Daerah: Tapi Kerja yang Benar Lah |
|
|---|
| Menkeu Purbaya Ancam Danantara: Kita Sikat Kalau Melindungi Praktik yang Jelek |
|
|---|
| Penampilan Istri Menkeu Purbaya Kembali Jadi Sorotan, Beda Jauh dari Pendapatan Anak yang Miliaran |
|
|---|
| Menkeu Purbaya Ngaku Punya Harta Kekayaan Rp260 Triliun, Wendy Cagur Melongo: Sombong Juga Ini Orang |
|
|---|
| Akhirnya Rocky Gerung Bicara Jejak Karier Menkeu Purbaya, Cium Aroma Ambisi Politik 2029 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bengkulu/foto/bank/originals/purbaya-redenominasi-2353467658879987.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.