Kisah Ibu-ibu Kuli Angkut Sawit di Bengkulu Selatan, Rela Nyebrang Sungai Habiskan waktu Seharian
Sangat pilu dan tidak masuk akal, untuk mendapatkan uang Rp 50 ribu. Para buruh angkut buah TBS sawit harus habiskan waktu satu hari full.
Penulis: Ahmad Sendy Kurniawan Putra | Editor: Hendrik Budiman
Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Ahmad Sendy Kurniawan Putra
TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU SELATAN - Kisah ibu-ibu kuli angkut sawit di Bengkulu Selatan demi membantu perekonomian keluarga.
Para ibu-ibu kuli angkut sawit itu harus menghabiskan waktu seharian dan menyebrangi sungai demi menafkahi keluarga.
Perjuangan berat yang dilakukan para ibu-ibu buruh angkut sawit itu tak sebanding dengan upah yang didapat hanya Rp 50 Ribu per hari.
Baca juga: Ditipu Teman Kencan Aplikasi MiChat Rp 6,5 Juta, Mahasiswa Asal Kaur Lapor Polisi
Salah satu kuli angkut sawit Aini (38) mengatakan, pekerjaan yang dilakukan tersebut tidak sebanding dengan kondisi saat ini. Namun, kenyataan yang ada seperti itu. Hal tersebut diakui buruh angkut buah TBS sawit,.
"Namun mau gimana, namanya saja kuli. Jika tidak ingin seperti itu, maka tidak akan mendapatkan uang," ungkap Aini kepada TribunBengkulu.com, Minggu (30/10/2022).
Ia menjelaskan, secara keseluruan upah yang diterima setiap selesai mengangkut buah sawit bisa mendapatkan Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu perhari.
Akan tetapi, yang mengakut sampai 6 orang bahkan lebih maka, hasil tersebut dibagi rata dengan yang lainya.
Sehingga perorang hanya mendapatkan upah sebesar Rp 50 ribu hingga Rp 65 ribu per hari.
Dalam satu kilogram tandan buahsawit, para buruh angkut mendapatkan upah sebesar Rp 150 per kilogram.
Bahkan, para buruh angkut harus memanggul buah TBS sawit hingga puluhan kilometer dengan menggunakan keranjang.
Baca juga: Usai Tenggak Miras, 2 Pemuda di Bengkulu Selatan Lakukan Pemalakan di Minimarket
Hal tersebut, dikarenakan belum ada akses jalan atau jembatan dari kebun tersebut ke jalan yang bisa dilalui kendaraan.
Mereka juga terkadang harus menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu akibat belum adanya jembatan.
Perjuangan yang menaruhkan nyawa tersebut dilakukan karena mereka harus menambah pengahsilan bagi keluarga.
Sedangkan, sang suami tidak memiliki lahan pertanian dan suami juga hanya bekerja sabagai buruh angkut.
