Alasan NU Tetap Menggunakan Rukyatul Hilal untuk Menentukan Awal Ramadhan

Kapan awal puasa Ramadhan tahun 2023 menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia yang banyak dicari saat ini, terlebih umat islam sudah memasuki akhir bul

Penulis: M Arif Hidayat | Editor: M Arif Hidayat
Beta Misutra/Tribunbengkulu.com
Rukyatul Hilal adalah metode yang digunakan NU dan pemerintah dalam menentukan 1 Ramadhan. Insert: Persiapan pemantauan sidang isbat Kanwil Kemenag Provinsi Bengkulu bersama BMKG Kepahiang tahun 2022 lalu. 

TRIBUNBENGKULU.COM, NASIONAL - Kapan awal puasa Ramadhan tahun 2023 menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia yang banyak dicari saat ini, terlebih umat islam sudah memasuki akhir bulan syaban dan tidak lama lagi memasuki bulan Ramadhan.

Perbedaan dalam menentukan awal puasa Ramadhan sudah lumrah terjadi di Indonesia. Sebagian besar masyarakat tidak banyak juga yang mempersoalkan ada umat muslim yang sudah menjalani ibadah puasa duluan dan sementara yang lain belum.

Kementerian Agama Republik Indonesia dalam laman resminya menyatakan bahwa, perbedaan jadwal puasa Ramadhan terjadi lantaran adanya perbedaan dalam memahami nash (dalil) dan metode pengambilan hukumnya (istinbath).

Jika muhammadiyah menggunakan metode hisab, dan bahkan PP Muhammadiyah sudah mengeluarkan maklumat tentang penetapan hasil hisab ramadhan, syawal, Zulhijah 1444 H atau tahun 2023 ini.

Sehingga, berdasarkan maklumat itu Muhammadiyah telah menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1444 H/2023 M akan jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023. Atau tiga hari lagi kita akan menjalankan ibadah puasa.

Lalu bagaimana dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah dalam hal ini Kemenag RI?

Pada umumnya, NU akan menunggu keputusan sidang Isbat yang dilakukan oleh Kemenag sebelum memberikan tanggal awal puasa Ramadan.

Kemungkinan besar kapan awal puasa Ramadan 2023 versi NU juga baru bisa diketahui setelah Rabu (22/3/2023) mendatang.

Alasan NU Gunakan Rukyatul Hilal

NU melalui Lembaga Falakiyahnya akan menggelar Rukyatul Hilal (pengamatan hilal) pada Rabu (22/3/2023).

Rukyah hilal tersebut sebagai upaya untuk menentukan awal puasa ramadhan atau 1 Ramadhan 1444 H.

Rukyatul Hilal ini dilakukan atas dasar keputusan Muktamar ke–30 NU tahun 1999 di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, maka rukyah hilal akan digelar di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah hukum.

Hal ini sebagaimana termaktub dalam Informasi Hilal Awal Ramadhan 1444 H 29 Sya’ban 1444 H/22 Maret 2023 M yang diterbitkan LF PBNU.

Penyelenggaraan dan pengawasan kegiatan rukyah hilal tersebut dikoordinasikan oleh LF PBNU.

Sementara hasil observasi dari seluruh titik pengamatan akan dilaporkan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang selanjutnya akan disampaikan pada forum Sidang Itsbat Kementerian Agama RI.

Hasil-hasil rukyah hilal dalam jejaring LFNU sekaligus menjadi landasan bagi ikhbar PBNU.

Lembaga Falakiyah PBNU juga menegaskan bahwa ada dua aspek yang mendasari NU tetap menggunakan rukyah hilal.

Pertama, Rukyatul Hilal sebagai aspek ibadah. Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, pelaksanaan rukyah hilal merupakan instrumen wajib guna memastikan kapan masuk tanggal 1 bulan kalender Hijriyah menurut ukuran syara'.

“Jadi tidak hanya untuk menentukan awal Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Nahdlatul Ulama menggelar rukyah hilal guna penentuan awal setiap bulan kalender Hijriyah sepanjang tahun,” demikian keterangan yang termaktub dalam Informasi Hilal Awal Ramadhan 1444 H 29 Sya’ban 1444 H/22 Maret 2023 M yang diterbitkan LF PBNU sebagaimana dikutip dari laman NU.or.id.


Rukyatul Hilal bagi NU juga selaras dengan pendapat para ulama salaf, yakni hukumnya fardhu kifayah atau bersifat wajib untuk masyarakat (wajib-komunal).

Karenanya, bila dalam sebuah negara tidak ada satupun yang bersedia melaksanakan rukyah hilal, maka siapapun Muslim yang ada di dalamnya akan memperoleh dosanya.

Kedua, Rukyatul Hilal tetap dilakukan juga sebagai bentuk aspek kultural. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia pada saat ini.

Survei keberagamaan Muslim di Indonesia pada 2016 yang digelar lembaga Alvara Research Center dan dipublikasikan Januari 2017 menunjukkan 64 persen Muslim Indonesia mengikuti Rukyatul Hilal dalam penentuan hari besar Islam.

Jumlah penduduk Indonesia pada 2016 adalah 262 juta jiwa dengan 87 persen di antaranya Muslim.

"Maka kuantitas Muslim Indonesia yang berpedoman pada rukyatul hilal dalam penentuan hari besar Islam setara dengan 145 juta jiwa,” demikian keterangan Alvara Research Center.

Sebagai pembanding, jumlah Muslim Indonesia yang menjadi warga NU di seluruh Indonesia hanya berkisar 90 juta orang.

Maka tidak elok jika NU sebagai lembaga keagamaan Islam yang berpedoman pada rukyah hilal tidak menyelenggarakan kegiatan yang hasilnya jelas akan ditunggu dan akan dipedomani demikian banyak orang.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved