Jugkir Balik Harga Sawit
Fakta Petani Jual Sawit ke Malaysia, Pembelinya Bukan Pabrik Tapi Pengumpul dengan Harga Rp 4000/Kg
Fakta penjualan sawit petani Indonesia ke Malaysia tidak semudah seperti yang viral di tiktok dan facebook beberapa hari terakhir.
TRIBUNBENGKULU.COM - Fakta penjualan sawit petani Indonesia ke Malaysia tidak semudah seperti yang viral di tiktok dan facebook beberapa hari terakhir.
Bukan hanya sekedar OTW Malaysia boss. Tapi kejadian itu memang ada dan harga Malaysia memang lebih joss.
TribunBengkulu.com mengutip artikel yang diterbitkan Kompas.com bekerjasama dengan VoA dengan judul Harga Masih Anjlok, Petani Indonesia Terpaksa Jual Buah Sawit ke Malaysia.
Meskipun keran ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) telah dibuka, tetapi harga tandan buah segar (TBS) sawit petani masih rendah.
Petani sawit pun akhirnya memilih menjualnya ke negeri tetangga karena harga yang lebih baik. Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, petani sawit Indonesia terpaksa menjual tandan buah segar (TBS) ke Malaysia karena masih rendahnya harga di dalam negeri.
Ia menjelaskan, buah sawit petani di Tanah Air hanya dihargai Rp 400 hingga Rp 500 per Kilogram (Kg) apabila dijual kepada pedagang pengumpul.
Harganya kemudian naik sedikit apabila petani menjualnya ke pabrik kelapa sawit (PKS), yakni sekitar Rp 1.000 hingga Rp 1.100 per Kg. Namun, sayangnya sampai saat ini, ungkap Gulat, masih banyak PKS yang enggan membeli TBS Sawit dari petani, lantaran PKS masih kesulitan untuk mengekspor CPO yang sudah ada. Baca juga: Indonesia Batalkan Rencana Kirim TKI ke Perkebunan Sawit Malaysia, Takut Ada Kerja Paksa?
“Faktanya harganya (di Malaysia) kalau dirupiahkan sekitar Rp 3.500 hingga Rp 4.500 per Kg TBS, kan lumayan dibandingkan dengan hanya Rp 1.000 per Kg. Tetapi tidak seperti yang dikoar-koarkan di Tik Tok, truk berantre-antre sampai ratusan menuju perbatasan, engga seperti itu,” kata Gulat kepada VOA.
Baca juga: Pemain Sawit Wajib Tahu! Asal Muasal Harga CPO Sawit Diatur Malaysia, Sekarang Karena Malaysia Juga?
“Mereka menjualnya dalam konteks skala petani pakai truk kecil. Dan yang membeli di sana juga bukan pabrik, tapi semacam pedagang pengumpul juga. Jadi bisa dibayangkan kalau pedagang pengumpul saja bisa dihargai Rp 3.500 per Kg, berapa lagi ke pabrik,” tambahnya.
Lebih jauh, Gulat mengatakan memang tidak ada data yang akurat terkait berapa banyak TBS sawit yang dijual oleh petani ke Malaysia. Namun, menurutnya kurang lebih bisa mencapai 100 ton TBS sawit.
Angka tersebut, katanya, masih sangat kecil sekali dibandingkan dengan kemampuan Indonesia dalam menghasilkan CPO. “Kita melihat permasalahan ini tidak bisa hanya mengatakan itu salah, itu benar, oh tidak boleh, itu melanggar kepabeanan, kalau hanya bilang tidak boleh apa solusinya,” tuturnya.
Gulat pun menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 01 Tahun 2018 terkait Tata Niaga TBS Sawit. Ia berpendapat regulasi ini membatasi semua aktivitas petani sawit swadaya yang jumlahnya mencapai 97 persen. Sementara,
Gulat melihat aturan tersebut hanya mengakomodasi petani bermitra yang jumlahnya hanya tujuh persen saja. “Kalau saya lihat kita tidak bisa hanya menyalahkan petaninya, kenapa menjual ke Malaysia. Tapi kita harus lihat secara keseluruhan, kenapa itu terjadi? Karena harganya murah di Indonesia, kenapa murah? Karena ada larangan ekspor berdampak pada keadaan seperti saat ini. Kenapa larangan ekspor dicabut harga masih rendah? Karena banyak beban-beban,” tegasnya.
VOA sudah berusaha menghubungi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk memberi tanggapan terkait permasalahan ini. Namun, sampai berita ini diturunkan belum ada respons yang diberikan.
Sementara itu Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan pihaknya memahani alasan mengapa para petani tersebut menjualnya ke Malaysia. Ia menilai situasi itu terjadi lantaran adanya kebijakan larangan ekspor CPO yang sempat diberlakukan pemerintah. Meski keran ekspor CPO telah dibuka, penyerapan TBS sawit belum maksimal dan membuat harga di tingkat petani tersungkur. Untuk mengatasi hal ini, Zulkifli mengatakan Kemendag akan mendorong percepatan ekspor.
Editor : Danur Lambang Pristiandaru