Sidang Ferdy Sambo

Alasan Putri Candrawathi Tak Visum Meski Ngaku Dilecehkan Brigadir J Diungkap Ahli Meringankan Sambo

Ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Mahrus Ali membeberkan beberapa alasannya.

Editor: Hendrik Budiman
(Tangkapan layar Kompas TV)
Ahli hukum pidana Dr Mahrus Ali (tengah) dari pihak terdakwa memberikan keterangan dalam sidang perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, dengan terdakwa mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo dan istri, Putri Candrawathi, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/12/2022). 

TRIBUNBENGKULU.COM - Alasan kenapa Putri Candrawathi yang mengaku korban dugaan kekerasan seksual tidak melapor atau bahkan melakukan tes visum diungkap ahli.

Ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Mahrus Ali membeberkan beberapa alasannya.

Keterangan itu diungkapkan Mahrus saat dihadirkan oleh kubu terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawati sebagai ahli meringankan dalam sidang, Kamis (22/12/2022).

Mahrus mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat korban dugaan kekerasan seksual memilih tidak melakukan dua hal tersebut.

Baca juga: Kasus Sambo Karakter Pelaku Pembunuhan Berencana, Ahli: Sikapnya Tenang Sebelum Eksekusi Korban

Beberapa faktor yang dimaksud salah satunya karena adanya rasa takut karena merasa terintimidasi oleh beberapa pertanyaan pihak eksternal.

"Bisa saja menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual saat melapor dia akan mengalami victimisasi sekunder atas perlakuan yang tidak senonoh yang tidak enak dari banyak aktor dari sistem peradilan pidana misalnya, makanya maaf saya agak vulgar, dalam proses misalnya saudara itu berapa kali diperkosa? 5 kali pak," kata Mahrus dalam sidang.

"Kalau 5 kali itu bukan perkosaan yang pertama perkosaan tapi yang ke-2 dan ke-5 suka sama suka, saudara menikmati gak? Itu pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjadikan korban menjadi korban kedua kali karena pertanyaan yang tidak ramah," sambungnya.

Faktor selanjutnya kata dia yakni perihal budaya yang ada di suatu negara.

Dimana, dirinya mencotohkan soal kebudayaan di negara berkembang salah satunya di Indonesia yang menganut patriarki.

Dalam pemahaman itu, menempatkan pria selalu menjadi makhluk dominan di banding perempuan.

Hal itu yang menyebabkan banyaknya korban kekerasan seksual yang notabene dialami perempuan enggan membuat laporan.

"Budaya patriarkal di negara berkembang bisa saja menyebutkan bahwa budaya patriarkal bahwa yang berkuasa adalah laki-laki, perempuan itu selalu menjadi nomor 2," ucap dia.

Atas kasus ini, dirinya merujuk pada contoh kasus yang pernah terjadi di Jawa Timur, di mana ada seorang ayah yang memperkosa anaknya hingga melahirkan namun korban enggan melapor karena ada tekanan dari pihak keluarga.

"Makanya kasus di Jawa Timur ketika ada seorang bapak perkosa anak sampai anaknya melahirkan ketika terungkap di persidangan. Iitu salah satu alasan mengapa tidak berani melapor karena keluarganya yang melarang melapor, itu dianggap adalah aib. ini adalah victimology," tukas dia.

Sebelumnya, Ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Mahrus Ali menyatakan, dalam tindak pidana dugaan kekerasan seksual sejatinya harus dibuktikan dengan alat bukti minimal hasil visum dari korban.

Bukti visum itu diperlukan untuk kepentingan jaksa penuntut umum (JPU) membuktikan tindak pidana yang terjadi.

"Satu-satunya bukti yang biasa dihadirkan oleh Jaksa biasanya visum, tetapi kalau visum ga ada gimana? Pertanyaan saya begini, visum itu gak ada terkait dengan tantangan yang lebih berat yang dihadapi Jaksa untuk membuktikan," kata Mahrus dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Akan tetapi, jika dalam proses pembuktian hasil visum tersebut tidak dilakukan, bukan berarti tindak kejahatannya menjadi tidak ada.

"Jangan disimpulkan kalau korban tidak melakukan visum tidak terjadi kejahatan," kata Mahrus.

Hakim Wahyu Tolak Permintaan Libur Sidang Sambo

Hakim Wahyu Iman Santosa menolak permintaan dari JPU dan Pengacara yang mengharapkan masa jeda skors perisdangan Ferdy Sambo cs sampai pada bulan januari.

Tampak agak malu-malu Pengcara dan JPU menyampaikan permintaan itu ke Hakim Wahyu Imam Santosa.

Mendengar permintaan itu Hakim Wahyu lalu menjawabnya.

Jawaban itu pun membuat kubu JPU langsung tertunduk.

Berikut video detik-detik Hakim Wahyu menolak permintan perpanjangan liburan itu.

'Pengakuan Terbaru Arif'

Mantan AKBP Arif Rahman Arifin memberikan kesaksian pada sidang perintangan penyidikan.

Kali Ini Kamis 22 Desember 2022 Arif bersaksi untuk sidang terdakwa Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria.

Arif yang juga terdakwa kasus ini diketahui adalah orang yang menyimpan diam-diam copt dvr CCTV Komplek Polri Duren Tiga.

Kali ini Arif menjelaskan pada hakim apa tujuanya dia menyimpan diam-ciam CCTV itu dan bagaimana akhirnya terbongkar.

Arif mengaku dia mengakui adanya CCTV yang dicopy diam-diam itu pada tanggal 8 Agustus 2022 saat dipatsuskan.

Pengakuan itu dia ungkap sehari setelah Ferdy Sambo mengaku membunuh Brigadir J.

Lalu baru pada tanggal 12 Agustus 2022 Hardisk itu diserahkan oleh Istri dari Baiquni saat pemeriksaan di rumah Baiquni.

Arif dan Baiquni-lah yang berinisiatif menyimpan copy rekaman CCTV itu.

Mereka mencopy diam-diam setelah mendapat perintah penghancuran oleh Ferdy Sambo. Tujuannnya untuk berjaga-jaga.

Reaksi Jaksa Sugeng yang Garang Malah Tersenyum

Reaksi Jaksa Sugeng yang Garang malah tersenyum saat mendengarkan keterangan saksi Ahli meringankan dari Ferdy Sambo Cs.

Kubu Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sudah mulai menghadirkan ahli meringankan di persidangan.

Hari ini Kamis 22 Desember 2022 Kubu Ferdy Sambo menghadirkan ahli hukum pidana Dr Mahrus Ali.

Meski mendengarkan ahli yang meringankan dari kubu lawannnya, Jaksa Sugeng yang terkenal garang malah tampak tersenyum dan mengangguk-angguk saat mendengarkan kesaksian dari Dr Mahrus Ali yang berapi-api.

Saat itu Dr Mahrus sedang menjawab pertanyaan dari pengacara terdakwa.

Reaksi Hakim Wahyu Hakim Wahyu Iman Santosa

Kubu Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sudah mulai menghadirkan ahli meringankan di persidangan.

Hari ini Kamis 22 Desember 2022 Kubu Ferdy Sambo menghadirkan ahli hukum pidana Dr Mahrus Ali.

Seperti diketahui kedua kubu baik dari Jaksa Penuntut Umum maupun kubu terdakwa sama-sama punya hak untuk menghadirkan ahli persidangan.

Keterangan ahli digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.

Ahli mana yang dianggap benar keterangannya oleh hakim? Tentu itu tergantung dari majelis hakim.

Reaksi dari ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santosa saat mendengarkan keterangan Dr Mahrus Ali, ahli yang meringankan dari kubu terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawati.

Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.

Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.

Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.

Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.

Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.

Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.

Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved