Kasus Inses Bengkulu

Tolak Balak Imbas Kasus Inses Kakak Adik Kandung, Warga Rejang Lebong Lakukan Prosesi Cuci Kampung

Kasus pemerkosaan atau persetubuhan saudara kandung yang terjadi di Kecamatan Bermani Ulu masih menjadi perbincangan hingga saat ini.

Penulis: M Rizki Wahyudi | Editor: Hendrik Budiman
M Rizki Wahyudi/Tribunbengkulu.com
Proses cuci kampung yang dilaksanakan sebagai bentuk tolak balak pasca kasus inses di Rejang Lebong,Selasa (30/4/2024). 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, M. Rizki Wahyudi 

TRIBUNBENGKULU.COM, REJANG LEBONG - Kasus pemerkosaan atau persetubuhan saudara kandung yang terjadi di Kecamatan Bermani Ulu, Rejang Lebong Bengkulu masih menjadi perbincangan hingga saat ini.

Terbarunya, sanksi adat berupa prosesi cuci kampung kepada keluarga korban/pelaku dilaksanakan, pada Selasa (30/4/2024) pagi.

Proses cuci kampung ini bertujuan untuk tolak balak agar desa tersebut tidak terkena bencana.

Selain itu, dalam proses ini kedua orangtua korban/pelaku dihukum cambuk sebanyak 10 kali.

Dari pantauan TribunBengkulu.com, proses cuci kampung ini berjalan lancar, kedua orangtua korban dan pelaku dihadirkan.

Prosesi dimulai dengan doa agar terhindar dari bencana dan kedua orangtua korban dan pelaku membaca ikrar sumpah.

Selanjutnya, kedua orangtua korban dan pelaku dihukum cambuk menggunakan lilitan lidi sebanyak 10 kali karena dianggap lalai dalam mendidik anaknya.

Selain itu kedua orangtua korban dan pelaku juga berkeliling kampung untuk melaksanakan pemotongan tiga ekor kampung yang dilakukan ditiga dusun sebagai simbol tolak balak.

Ketua BMA Rejang Lebong, Ahmad Faizir mengatakan prosesi cuci kampung ini dilakukan setelah berbagai proses yang dilakukan sebelumnya hingga akhirnya proses cuci kampung dilaksanakan pada Selasa (30/4/2024) pagi.

Menurutnya, apapun yang terjadi harus diselesaikan agar permasalahan itu tidak berlarut-larut. Proses cuci kampung yang diselenggarakan di desa ini bertujuan agar terhindar dari bencana.

"Jadi prosesi cuci kampung dilaksanakan,"ucap Faizir.

Baca juga: Teganya Pelaku Inses di Rejang Lebong, Setubuhi Adik Hingga Hamil dan Cekoki Pil X Hingga Keguguran

Ditambahkan, kepala desa setempat, Jeriyan mengatakan dengan telah terlaksananya prosesi cuci kampung ini diharapkan segala sesuatu di desa kedepannya bisa damai, baik dan tentram.

Ia mengakui bahwa warga desanya sangat malu dengan adanya prosesi ini. Namun hal itu perlu dilaksanakan agar tidak ada hal buruk yang terjadi kedepannya.

"Semoga kasus ini selesai dan tidak ada lagi kejadian-kejadian serupa,"harap Jeriyan.

Sementara itu warga sekitar, Badu Hartomadi mengatakan, dengan telah digelarnya prosesi cuci kampung ini diharapkan kejadian seperti itu tidak terulang kembali.

Pihaknya sangat mendukung adanya prosesi cuci kampung yang digelar dengan begitu, desa ini bisa kembali bersih dan diharapkan terhindar dari bencana.

"Tentunya kejadian ini sangat memalukan, semoga tidak ada lagi kedepannya,"papar Badu.

Disisi lain, Kepala Dinas P3APPKB Kabupaten Rejang Lebong Sutan Alim,S.Sos mengaku, pihaknya hanya sebatas menghadiri undangan dari BMA Kabupaten Rejang Lebong.

Meskipun begitu, ia membenarkan bahwa memang prosesi cuci kampung merupakan rangkaian adat.

Sesuai dalam Perda no 5 tahun 2018 tentang masyarakat adat, termuat hal-hal yang berkenaan dengan rangkaian kegiatan masyarakat termasuk sanksinya.

"Rangkaian sanksi adat itu diakui di Kabupaten Rejang Lebong, Perdanya ada,"singkat Sutan.

Sang Anak Bakal TES DNA

Update kasus inses antara kakak dengan adik kandung yang terjadi di Kecamatan Bermani Ulu Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu beberapa waktu lalu.

Kasus selama bertahun-tahun hingga melahirkan seorang anak.

Di mana hubungan yang awalnya pemerkosaan diduga berujung rasa "nyaman" antara korban dengan pelaku.

Kepala Dinas P3APPKB Kabupaten Rejang Lebong Sutan Alim, S.Sos mengatakan, untuk korban direncanakan akan diamankan di rumah singgah rehabilitasi dari yayasan yang ada di Bengkulu.

Korban memang awalnya akan dibawa dari rumahnya pada Jumat (19/4/2024). Namun ternyata ada suatu kondisi yang membuat evakuasi korban belum dilakukan.

Rencananya, korban akan dibawa dari rumahnya itu dalam waktu dekat. Alasannya karena di Rejang Lebong tidak ada rumah singgah maka pihaknya meminta bantuan ke Provinsi Bengkulu.

Tujuannya untuk pemulihan terhadap korban pasca kasus yang menimpa itu. Baik pemulihan kesehatan maupun pemulihan mentalnya.

"Jadinya meminta bantuan dan difasilitasi provinsi, korban nanti akan dibawa ke rumah singgah rehabilitasi di bengkulu," jelas Sutan.

Sutan juga menambahkan, pihaknya telah mendorong supaya dilaksanakan tes DNA kepada anak dari korban.

Tes DNA terhadap anak korban itu sekarang lagi diproses dan diperkirakan bakal dilakukan dalam waktu dekat.

Maksud dan tujuan tes DNA itu adalah karena kejadian yang berlangsung dalam waktu lama.

Sehingga diperlukan hal itu untuk memastikan siapakah ayah kandung anak itu. Apakah benar ayahnya adalah kakaknya sendiri atau ada orang lain.

Hal ini untuk menepis adanya informasi-informasi aneh yang beredar.

"Iya betul, anaknya bakal di tes DNA juga, mudah-mudahan dalam waktu dekat ini sudah dilaksanakan, sekarang lagi persiapan," ucap Sutan.

Orangtua Kakak Adik Inses Bisa Dipidana

Proses hukum kakak setubuhi adik kandung hingga melahirkan anak atau inses di Rejang Lebong Provinsi Bengkulu masih berlanjut.

Polisi sudah mengamankan pelaku inisial KH (21) warga Kecamatan Bermani Ulu Kabupaten Rejang Lebong, yang merupakan kakak kandung korban persetubuhan.

Aksi asusila KH terhadap sang adik yang masih di bawah umur sudah berlangsung sejak tahun 2021.

Kasus yang semula berawal dari pemerkosaan dengan ancaman itu diduga telah berubah arah.

Korban yang merupakan adik kandung dari pelaku itu diduga telah merasa "nyaman" akan hubungan terlarang itu.

Hal ini diduga kuat akibat kurangnya pengetahuan baik pendidikan serta agama juga akibat pembiaran hingga upaya penekanan dari orangtuanya.

Dari aksi bejatnya itu, korban telah tiga kali hamil dengan dua kali keguguran dan satu kali hingga melahirkan.

Mirisnya lagi, orangtua mereka mengetahui adanya kejadian itu namun memilih untuk mencegah korban melapor.

Sempat mencuat ke permukaan pada tahun 2022 lalu, namun mereka malah melaporkan mantan pacar dari korban atas dugaan pemerkosaan.

Untungnya polisi saat melakukan penyelidikan itu mendapati kejanggalan sehingga kasusnya dihentikan dan laporan korban dicabut.

Sehingga diduga ada peran orangtuanya dalam menutup rapat kasus ini sehingga dari tahun 2021 lalu baru terbongkar pada tahun 2024 ini.

Praktisi dan Pengamat Hukum dari Universitas Bengkulu, Zico Junius Fernando mengatakan kasus pemerkosaan dalam keluarga yang disertai upaya penutupan oleh orang tua seperti yang terjadi di Rejang Lebong menghadirkan tantangan hukum yang kompleks di Indonesia.

Dalam kasus ini, pelaku inses dapat dijerat dengan Pasal 285 KUHP yang menjelaskan tentang pemerkosaan dengan ancaman hukuman maksimal dua belas tahun penjara.

Jika korban merupakan anak di bawah umur, Pasal 81 dan Pasal 82 UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak memperberat sanksi bagi pelaku. Yakni dengan ancaman hukuman maksimal lima belas tahun penjara.

Lebih lanjut kriminolog itu mengatakan, orangtua yang mengetahui namun memilih untuk menutup-nutupi kejahatan ini dapat dipertimbangkan sebagai pelaku pembantu kejahatan.

Hal itu sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP yang mengatur tentang pembantu dalam melakukan kejahatan. Dimana mereka dapat dikenakan hukuman penurunan satu tingkat dari pelaku utama.

Dalam konteks UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, peran orang tua dalam menutupi atau menghalangi penuntasan kasus ini bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian dan kekerasan psikologis terhadap korban.

Hal itu dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal-pasal terkait dalam UU tersebut.

"Ini menegaskan bahwa hukum Indonesia memiliki ruang untuk menjerat bukan hanya pelaku utama tetapi juga mereka yang memfasilitasi atau membiarkan kejahatan terjadi tanpa intervensi yang memadai," beber Zico.

Kasus seperti ini menyoroti pentingnya sistem hukum yang responsif dan inklusif, yang tidak hanya mengejar keadilan bagi korban tetapi juga menyoroti perlunya perlindungan dan dukungan terhadap korban dalam menghadapi kekerasan seksual dan KDRT.

Penegakan hukum yang adil dan penanganan kasus yang sensitif terhadap korban menjadi sangat penting.

"Termasuk upaya-upaya pemulihan dan rehabilitasi bagi korban, yang menggarisbawahi kebutuhan akan pendekatan keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan korban sekaligus pemberian sanksi kepada pelaku," lanjut dosen hukum Unib ini.

Kemudian dari perspektif kriminolog, kasus seperti pemerkosaan dalam keluarga yang disertai upaya penutupan oleh orangtua menunjukkan dinamika kekerasan yang tersembunyi dalam struktur sosial dan keluarga.

Kriminologi, sebagai studi tentang kejahatan, penyebabnya, dampaknya, dan cara pencegahannya, menawarkan lensa untuk memahami bagaimana kejahatan seksual dalam keluarga tidak hanya merupakan tindakan kriminal individu tetapi juga cerminan dari masalah sosial yang lebih luas.

Kasus-kasus inses menyoroti kegagalan mekanisme perlindungan dalam lingkup keluarga dan masyarakat.

Faktor-faktor seperti stigma sosial, rasa malu, dan ketakutan terhadap ostrasisasi seringkali menyebabkan korban atau saksi dalam keluarga memilih untuk diam atau menutupi kejahatan.

Dalam konteks ini, Zico menggarisbawahi pentingnya pendekatan multi-disiplin dalam mengatasi kejahatan seksual, yang melibatkan kerja sama antara lembaga penegak hukum, layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan mental.

Pendekatan restoratif, yang berfokus pada pemulihan korban, pelaku, dan masyarakat, menjadi penting dalam kasus kekerasan seksual dalam keluarga.

Hal ini melibatkan pengakuan atas dampak kejahatan terhadap korban dan masyarakat, serta pencarian solusi yang mendukung pemulihan korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat dengan cara yang sehat dan bertanggung jawab.

Lebih lanjut, kriminologi memandang pentingnya edukasi dan pencegahan sebagai bagian dari strategi jangka panjang dalam mengurangi kejahatan seksual dalam keluarga.

Pendidikan tentang hak-hak individu, konsen, dan kesehatan mental bisa membantu mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Program-program pencegahan yang menargetkan remaja dan orang tua, serta kampanye kesadaran masyarakat dapat meningkatkan pemahaman tentang dampak kekerasan seksual dan mengurangi stigma yang seringkali menghalangi korban untuk mencari bantuan.

"Terakhir pentingnya dukungan sistematis dan berkelanjutan bagi korban, termasuk akses ke layanan kesehatan mental, dukungan hukum, dan perlindungan sosial. Pemulihan korban dan pencegahan kejahatan berulang memerlukan lingkungan yang mendukung dan responsif, di mana korban merasa aman untuk berbicara dan mencari bantuan," beber Zico.

 

 

 

 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved