Indonesia di Akhir COP30: Kritisi Teks Negosiasi, Pasif pada Aksi

Delegasi Indonesia menilai Belem Political Package yang diusulkan Presidensi Brasil masih jauh dari solid. 

Editor: Hendrik Budiman
Foto oleh Raimundo Pacco/COP30
KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM - Presiden COP30 Andre Correa do Lago dalam rapat pleno Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, Jumat, 21 November 2025. 

Indonesia menekankan bahwa penguatan adaptasi harus menjadi fokus untuk mengurangi beban loss and damage. Namun tanpa komitmen pendanaan yang jelas, upaya adaptasi pun sulit bergerak.

Negosiasi yang Makin Tertutup dan Arah COP yang Dipertanyakan

Pembatasan sesi negosiasi Mutirão hanya untuk negara tertentu menandai kekhawatiran baru: semakin menyempitnya ruang negosiasi substantif di COP. 

Ary mengakui bahwa sesi final “sudah berlarut-larut” dan isu baru hampir mustahil diangkat.

Dengan tekanan waktu yang makin tipis, Indonesia meminta COP30 menghasilkan keputusan yang tidak melemahkan mandat. 

“COP30 itu harus menghasilkan sesuatu keputusan yang akan memberikan landasan bagi pelaksanaan,” kata Ary.

Namun dari isu gender hingga pendanaan adaptasi, dari fosil hingga teks hutan, COP30 kembali menunjukkan persoalan lama: ambisi yang digaungkan tidak selalu sejalan dengan keputusan yang disusun.

Indonesia Dinilai Pasif pada Isu Utama

Menjelang hari-hari akhir perundingan iklim COP30, kritik terhadap sikap Indonesia kian menguat. 

Aktivis menilai delegasi Indonesia terlalu pasif dalam isu-isu utama, terutama pendanaan iklim, penghentian bertahap energi fosil, dan kepemimpinan negara-negara Selatan dalam menekan negara maju. 

Kritik itu disampaikan Ketua Tim Politik Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace, Rayhan Dudayev, saat ditemui di Belém.

Menurut Rayhan, krisis iklim di Indonesia sudah menampakkan dampak nyata: kenaikan muka air laut di pesisir Jawa, kekeringan, ancaman pangan, hingga musim hujan dan kemarau yang makin sulit diprediksi. Karena itu, kata dia, COP30 seharusnya menjadi titik balik. 

“Kita mengharapkan negara-negara itu memang bisa bersepakat untuk melakukan aksi nyata iklim. Tidak sekedar menyepakati untuk mendiskusikan apa yang perlu didiskusikan tahun depan,” ujarnya, Jumat (21/11/2025).

Kekecewaan para aktivis juga menyasar posisi Indonesia yang belum bergabung dengan lebih dari 80 negara yang mendorong penghentian bertahap energi fosil secara jelas. 

Padahal, menurut Rayhan, dukungan global kini semakin condong pada transisi energi yang tegas. 

“Sangat disayangkan Indonesia belum masuk. Indonesia punya peta jalan transisi yang cukup terarah, dan itu bisa menjadi peluang ekonomi,” katanya.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved