Indonesia di Akhir COP30: Kritisi Teks Negosiasi, Pasif pada Aksi
Delegasi Indonesia menilai Belem Political Package yang diusulkan Presidensi Brasil masih jauh dari solid.
Dalam isu pendanaan iklim, tarik-menarik antara negara maju dan berkembang kembali mewarnai COP. Negara maju mendorong peningkatan ambisi, sementara negara berkembang menolak melangkah tanpa komitmen pendanaan yang pasti.
“Ini seperti ayam dan telur. Developing countries tidak akan bicara ambisi tanpa kejelasan pendanaan. Harapannya negara-negara bisa duduk bersama secara terbuka, menentukan peta jalan finance yang jelas,” kata Rayhan.
Keputusan tahun lalu mengenai roadmap pendanaan iklim senilai USD 1,3 triliun dari negara maju yang hingga kini belum terlihat implementasinya.
Menurutnya, sektor swasta khususnya industri penghasil emisi—juga harus ikut menanggung beban melalui skema yang sedang dibahas.
Situasi geopolitik juga menjadikan COP30 lebih rumit. Penarikan Amerika Serikat dari Paris Agreement membuat negosiasi “tidak ada yang benar-benar memimpin”. Proses multilateral, kata Rayhan, tetap harus dipertahankan meski lamban.
“Kita berangkat dari era perang. Sekarang kita harus duduk bersama. Ini sulit, tapi harus terus didorong.”
Aktif Negosiasi Pasar Karbon, Bukan Aksi Iklim
Rayhan menilai Indonesia memiliki kepentingan besar sebagai negara yang paling terdampak krisis iklim.
Namun, justru di ruang-ruang perundingan utama, Indonesia dinilai minim suara.
“Indonesia malah aktif hanya dalam negosiasi pasar karbon. Tapi untuk aksi iklim yang ambisius dan penting untuk mendatangkan pendanaan, sangat minim,” ujarnya.
Ia menilai Indonesia sesungguhnya punya rekam jejak kuat dalam diplomasi global dari Konferensi Asia Afrika hingga perundingan hukum laut. Tapi dalam isu iklim, hal itu tidak tercermin.
“Harapannya Indonesia bisa memimpin. Kita bisa bangga kalau Indonesia memimpin aksi iklim. Tapi yang terlihat sekarang Indonesia lebih menunggu, melihat posisi negara lain.”
Jika Indonesia terus pasif, Rayhan memperingatkan risiko nyata bagi masyarakat: kerugian sektor pangan, bencana hidrometeorologi yang kian sering, suhu ekstrem, hingga kerugian ekonomi akibat hilangnya peluang pendanaan transisi.
“Target 1,5°C itu terlihat semakin jauh. Bencana makin sering. Pembayar pajak Indonesia yang akan menanggung akibatnya.”
Rayhan menolak narasi pemerintah bahwa Indonesia “leading by action” tanpa bersuara keras di meja perundingan. “Tidak cukup. Aksi nyata kita pun masih perlu dipertanyakan. Dan dalam forum multilateral, kita harus meyakinkan negara lain. Kalau negara lain tidak menahan deforestasi atau emisi, upaya Indonesia akan sia-sia."
Menurutnya, COP30 adalah kesempatan langka: Indonesia dekat secara politik dengan Brasil, tuan rumah COP, dan sama-sama negara hutan tropis besar bersama Kongo.
“Harusnya ada strategi negara Selatan mendorong aksi mitigasi dan menarik dukungan negara maju. Tapi kedekatan itu tidak terlihat di ruang negosiasi.”
COP30 memberi Indonesia kesempatan: menentukan apakah ia akan bersuara atau kembali diam.
Dengan risiko krisis iklim yang sudah menghantam warga dari banjir rob hingga gagal panen ketidaktegasan bukan lagi opsi.
Jika Indonesia tetap pasif, negara ini bukan hanya kehilangan peluang pendanaan dan dukungan global, tetapi juga membiarkan rakyatnya menanggung dampak yang makin berat
| Detik-Detik Prabowo Berpelukan Hangat dengan Presiden Brasil, Polemik Kasus Juliana Marins Jadi Adem |
|
|---|
| Pengakuan Agam Rinjani, Dulu Pernah Kaya, Pantas Santai Dapat Rp1,5 M Usai Tragedi Juliana Marins |
|
|---|
| GEGER! Brasil Bakal Gugat Indonesia Soal Kematian Juliana Marins di Rinjani Jika Terbukti Lalai |
|
|---|
| Curhat Pilu Orang Tua Juliana Marins, 'Anakku Mati Sendiri di Gunung Rinjani, Ditinggal Pemandu' |
|
|---|
| Juliana Marins WNA asal Brasil Tewas di Rinjani, Keluarga Cari Keadilan-Autopsi Ulang |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bengkulu/foto/bank/originals/KONFERENSI-PERUBAHAN-IKLIM-AVAV.jpg)