Gibran Rakabuming Raka

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie soal Usul Pemakzulan Gibran: Gampang, Ada 6 Alasan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengurai enam alasan konstitusional yang bisa menjadi dasar pemakzulan Gibran.

Kompas.com
PEMAKZULAN GIBRAN - Kolase foto mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (kiri) dan Gibran Rakabuming (kanan). Jimly mengurai enam alasan konstitusional yang bisa menjadi dasar pemakzulan Gibran. 

TRIBUNBENGKULU.COM - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengurai enam alasan konstitusional yang bisa menjadi dasar pemakzulan presiden atau wakil presiden, termasuk Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka

Hal ini disampaikan Jimly saat menanggapi isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang belakangan disuarakan sejumlah purnawirawan TNI. 

Menurut Jimly, dorongan tersebut merupakan ekspresi kekecewaan yang harus dimaklumi, tetapi tetap harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku. 

“Nah, kalau alasannya sebenarnya, kalau konkretnya mau dicari-cari, gampang. Ada enam yang bisa dijadikan alasan (pemakzulan)," ungkap Jimly saat ditemui Kompas.com di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (6/6/2025).

Jimly mengatakan, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terdapat enam alasan yang bisa digunakan sebagai dasar pemberhentian seorang presiden atau wakil presiden.

"Pertama, berkhianat pada negara. Kedua, korupsi. Ketiga, menerima suap. Keempat, melakukan tindak pidana berat yang ancamannya di atas lima tahun penjara," urai Jimly. 

Alasan kelima, lanjut dia, adalah apabila presiden atau wakil presiden terbukti melakukan perbuatan tercela.

“Contohnya sederhana saja. Kalau presiden lewat di Jalan Sudirman, buka jendela, meludah, kena ibu-ibu naik motor yang sedang dandan mau ke kawinan. Itu tercela apa tidak? Tentu tercela,” ujar dia. 

Adapun alasan keenam bersifat administratif, seperti presiden atau wapres meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat negara.

Meski demikian, Jimly menekankan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan secara serampangan. 

Ia menegaskan bahwa mekanisme pemakzulan telah diatur dalam konstitusi dan harus dimulai dari DPR.

“Langkah pertama harus beres di DPR. Dua pertiga dari anggota DPR harus menyetujui lebih dulu tuntutannya, baru dibawa ke MK. Setelah MK membuktikan ada pelanggaran, baru dibawa ke MPR,” papar dia.

Ia pun meragukan upaya pemakzulan terhadap Gibran bisa berjalan, mengingat konstelasi politik di DPR yang saat ini didominasi oleh partai-partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang merupakan pendukung pemerintah.

“Sekarang dua per tiga di DPR itu siapa? KIM plus apa mau? Jadi jangan tanya. Tanyanya kepada KIM plus. Koalisi permanen," jelas Jimly.

"Yang ketuanya adalah ketua umum Partai Gerindra. Yang ketua umum Partai Gerindra itu adalah Presiden Republik Indonesia."

"Jadi kalau ada orang mau mempersoalkan wakilnya, gampang itu. Tapi tanya dulu dia (Prabowo)."

Jimly menilai bahwa dukungan politik dari Partai Gerindra sangat menentukan kelangsungan jabatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam menghadapi isu pemakzulan.

"Jadi, kira-kira seandainya dari Partai Gerindra, kalau ditanya, diam saja dia, netral," tambahnya.

"Nah, itu berarti ada apa-apanya itu. Tapi, saya rasa karena yang memilih wakil presiden itu adalah ketua umum Gerindra sebagai calon presiden, yang memilih Gibran itu dia, saya rasa dia akan melindungi wakil presiden. Gitu lho."

Menurut Jimly, ketimbang terus-menerus mempersoalkan masa lalu, akan lebih baik jika masyarakat mulai fokus menata masa depan. 

“Maka akan jauh lebih baik seandainya masyarakat luas, publik ya itu diajak berpikir bagaimana sih kalau kita berpikir ke depan saja, jangan ke belakang. Ekspresi kemarahan kita tentang masa lalu ya itu agak sedikit dikurangilah," terang dia. 

Jimly mengingatkan bahwa terus-menerus mempersoalkan masa lalu justru hanya membuang-buang waktu tanpa hasil yang jelas.

"Ya kan? Karena enggak ada gunanya. Soalnya akibatnya itu nanti ngabisin waktu. Ngabisin waktu, tapi tidak ada ujungnya," pungkas dia.

Surat Pemakzulan Gibran

Sebelumnya diberitakan. forum Purnawirawan TNI mengirim surat ke pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI, yang berisi permintaan agar segera memproses usulan pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka

Surat bertanggal 26 Mei 2025 itu ditandatangani oleh empat purnawirawan jenderal TNI, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.

Indra menegaskan bahwa tindak lanjut atas surat yang dilayangkan Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu, selanjutnya menjadi kewenangan dari pimpinan DPR RI

“Iya, menjadi kewenangan pimpinan DPR RI,” kata Indra.

Setelah menerima surat tersebut, lantas apa tanggapan DPR RI?

Terkai surat tersebut, Sekretaris Fraksi Nasdem DPR Ahmad Sahroni menekankan bahwa proses untuk memakzulkan Wapres Gibran Rakabuming Raka tidak semudah yang dibayangkan orang-orang. 

"Saya rasa itu akan panjang sekali prosesnya, dan enggak semudah yang kita bayangkan," ujar Sahroni kepada Kompas.com, Selasa (3/6/2025). 

Sahroni menyebut akan ada proses panjang yang harus dilalui untuk menindaklanjuti tuntutan pemakzulan Gibran. 

Ia juga belum mengomentari terkait kontroversi Fufufafa yang dijadikan poin dalam tuntutan tersebut.

Seperti diketahui, pihak yang mendesak DPR untuk memakzulkan Gibran adalah Forum Purnawirawan TNI. 

Mereka telah melayangkan surat tuntutan ke DPR, dan DPR pun menerimanya.

Sahroni mengatakan, Forum Purnawirawan TNI atau pihak mana pun boleh-boleh saja mengirim surat tuntutan kepada DPR. 

Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa Setjen DPR juga akan memilah untuk memprioritaskan mana surat yang bakal didahulukan. 

"Kalau surat kan boleh-boleh dikirim dari pihak mana pun. Tapi, surat mana saja yang akan diprioritaskan itu menjadi bagian administrasi Kesetjenan DPR RI," imbuhnya.

Isi Surat Pemakzulan Gibran

Dalam surat yang dikirimkan, Forum Purnawirawan Prajurit TNI menerangkan bahwa usulan pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka memiliki dasar konstitusional yang kuat. 

Mereka merujuk pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945, TAP MPR Nomor XI Tahun 1998, serta sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang (UU) tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dan Kekuasaan Kehakiman.

Lewat surat itu, Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga menyatakan bahwa Gibran memperoleh tiket pencalonan melalui putusan MK yang cacat hukum, yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Mereka menilai putusan tersebut melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh Ketua MK saat itu, yakni Anwar Usman yang merupakan paman Gibran. 

“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu seharusnya batal demi hukum karena Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari majelis hakim, padahal memiliki konflik kepentingan,” demikian bunyi isi surat tersebut. 

Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga mengutip putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik hakim dan memberhentikannya dari jabatan Ketua MK. 

Namun, hingga kini putusan MK itu belum pernah diperiksa ulang dengan majelis hakim yang berbeda, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Soroti kapasitas dan etika Gibran

 Selain aspek hukum, Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga menilai Gibran tidak pantas menjabat sebagai Wakil Presiden dari sisi kepatutan dan etika.

“Dengan kapasitas dan pengalaman yang sangat minim, hanya dua tahun menjabat Wali Kota Solo, serta latar belakang pendidikan yang diragukan, sangat naif bagi negara ini memiliki Wakil Presiden yang tidak patut dan tidak pantas,” seperti dikutip dari surat tersebut.

Purnawirawan TNI juga menyinggung kontroversi akun media sosial “fufufafa” yang sempat marak diperbincangkan karena diduga memiliki keterkaitan dengan Gibran. 

Akun tersebut menjadi sorotan karena unggahan-unggahannya yang mengarah pada penghinaan tokoh publik, serta mengandung unsur seksual dan rasisme. 

“Dari kasus tersebut, tersirat moral dan etika Sdr. Gibran sangat tidak pantas dan tidak patut untuk menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia,” seperti dikutip dari isi surat tersebut. 

Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga mengangkat kembali dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang diduga melibatkan Gibran dan adiknya, Kaesang Pangarep.

Kasus ini sebelumnya telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2022 oleh akademisi Ubedilah Badrun. 

Atas dasar itu, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mendesak DPR segera memproses usulan pemakzulan Gibran sesuai ketentuan hukum dan konstitusi yang berlaku. 

“Demikian surat ini kami sampaikan sebagai wujud tanggung jawab warga negara dalam menjaga integritas konstitusi dan moralitas publik,” demikian bunyi penutup surat tersebut.

Pernyataan Forum Purnawirawan TNI

Sementara itu, sekretaris Forum Purnawirawan Prajurit TNI Bimo Satrio membenarkan surat tersebut. Surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 itu telah dikirimkan ke Sekretariat Jenderal MPR dan Sekretariat Jenderal DPR pada Senin (2/6/2025).

"Ya betul sudah dikirim dari Senin. Sudah ada tanda terimanya dari DPR, MPR, dan DPD," ujar Bimo saat dihubungi, Selasa (3/6/2025).

Ia menegaskan, pihaknya meminta agar MPR dan DPR segera memprose pemakzulan Gibran dari posisi Wakil Presiden. 

Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga siap menghadiri rapat dengar pendapat umum jika DPR memanggil mereka. 

"Jadi di surat itu kita kasih dalam segi hukumnya. Nanti kalau belum jelas dari DPR, MPR, DPD RI, kita siap purnawirawan untuk rapat dengar pendapat," ujar Bimo.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved