Kasus Inses Bengkulu

Tolak Balak Imbas Kasus Inses Kakak Adik Kandung, Warga Rejang Lebong Lakukan Prosesi Cuci Kampung

Penulis: M Rizki Wahyudi
Editor: Hendrik Budiman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Proses cuci kampung yang dilaksanakan sebagai bentuk tolak balak pasca kasus inses di Rejang Lebong,Selasa (30/4/2024).

Mirisnya lagi, orangtua mereka mengetahui adanya kejadian itu namun memilih untuk mencegah korban melapor.

Sempat mencuat ke permukaan pada tahun 2022 lalu, namun mereka malah melaporkan mantan pacar dari korban atas dugaan pemerkosaan.

Untungnya polisi saat melakukan penyelidikan itu mendapati kejanggalan sehingga kasusnya dihentikan dan laporan korban dicabut.

Sehingga diduga ada peran orangtuanya dalam menutup rapat kasus ini sehingga dari tahun 2021 lalu baru terbongkar pada tahun 2024 ini.

Praktisi dan Pengamat Hukum dari Universitas Bengkulu, Zico Junius Fernando mengatakan kasus pemerkosaan dalam keluarga yang disertai upaya penutupan oleh orang tua seperti yang terjadi di Rejang Lebong menghadirkan tantangan hukum yang kompleks di Indonesia.

Dalam kasus ini, pelaku inses dapat dijerat dengan Pasal 285 KUHP yang menjelaskan tentang pemerkosaan dengan ancaman hukuman maksimal dua belas tahun penjara.

Jika korban merupakan anak di bawah umur, Pasal 81 dan Pasal 82 UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak memperberat sanksi bagi pelaku. Yakni dengan ancaman hukuman maksimal lima belas tahun penjara.

Lebih lanjut kriminolog itu mengatakan, orangtua yang mengetahui namun memilih untuk menutup-nutupi kejahatan ini dapat dipertimbangkan sebagai pelaku pembantu kejahatan.

Hal itu sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP yang mengatur tentang pembantu dalam melakukan kejahatan. Dimana mereka dapat dikenakan hukuman penurunan satu tingkat dari pelaku utama.

Dalam konteks UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, peran orang tua dalam menutupi atau menghalangi penuntasan kasus ini bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian dan kekerasan psikologis terhadap korban.

Hal itu dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal-pasal terkait dalam UU tersebut.

"Ini menegaskan bahwa hukum Indonesia memiliki ruang untuk menjerat bukan hanya pelaku utama tetapi juga mereka yang memfasilitasi atau membiarkan kejahatan terjadi tanpa intervensi yang memadai," beber Zico.

Kasus seperti ini menyoroti pentingnya sistem hukum yang responsif dan inklusif, yang tidak hanya mengejar keadilan bagi korban tetapi juga menyoroti perlunya perlindungan dan dukungan terhadap korban dalam menghadapi kekerasan seksual dan KDRT.

Penegakan hukum yang adil dan penanganan kasus yang sensitif terhadap korban menjadi sangat penting.

"Termasuk upaya-upaya pemulihan dan rehabilitasi bagi korban, yang menggarisbawahi kebutuhan akan pendekatan keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan korban sekaligus pemberian sanksi kepada pelaku," lanjut dosen hukum Unib ini.

Kemudian dari perspektif kriminolog, kasus seperti pemerkosaan dalam keluarga yang disertai upaya penutupan oleh orangtua menunjukkan dinamika kekerasan yang tersembunyi dalam struktur sosial dan keluarga.

Kriminologi, sebagai studi tentang kejahatan, penyebabnya, dampaknya, dan cara pencegahannya, menawarkan lensa untuk memahami bagaimana kejahatan seksual dalam keluarga tidak hanya merupakan tindakan kriminal individu tetapi juga cerminan dari masalah sosial yang lebih luas.

Kasus-kasus inses menyoroti kegagalan mekanisme perlindungan dalam lingkup keluarga dan masyarakat.

Faktor-faktor seperti stigma sosial, rasa malu, dan ketakutan terhadap ostrasisasi seringkali menyebabkan korban atau saksi dalam keluarga memilih untuk diam atau menutupi kejahatan.

Dalam konteks ini, Zico menggarisbawahi pentingnya pendekatan multi-disiplin dalam mengatasi kejahatan seksual, yang melibatkan kerja sama antara lembaga penegak hukum, layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan mental.

Pendekatan restoratif, yang berfokus pada pemulihan korban, pelaku, dan masyarakat, menjadi penting dalam kasus kekerasan seksual dalam keluarga.

Hal ini melibatkan pengakuan atas dampak kejahatan terhadap korban dan masyarakat, serta pencarian solusi yang mendukung pemulihan korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat dengan cara yang sehat dan bertanggung jawab.

Lebih lanjut, kriminologi memandang pentingnya edukasi dan pencegahan sebagai bagian dari strategi jangka panjang dalam mengurangi kejahatan seksual dalam keluarga.

Pendidikan tentang hak-hak individu, konsen, dan kesehatan mental bisa membantu mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Program-program pencegahan yang menargetkan remaja dan orang tua, serta kampanye kesadaran masyarakat dapat meningkatkan pemahaman tentang dampak kekerasan seksual dan mengurangi stigma yang seringkali menghalangi korban untuk mencari bantuan.

"Terakhir pentingnya dukungan sistematis dan berkelanjutan bagi korban, termasuk akses ke layanan kesehatan mental, dukungan hukum, dan perlindungan sosial. Pemulihan korban dan pencegahan kejahatan berulang memerlukan lingkungan yang mendukung dan responsif, di mana korban merasa aman untuk berbicara dan mencari bantuan," beber Zico.