TRIBUNBENGKULU.COM – Luas panen tanaman biofarmaka di Provinsi Bengkulu menunjukkan dinamika yang signifikan selama periode lima tahun terakhir, dari 2020 hingga 2024.
Tanaman biofarmaka adalah tanaman yang dimanfaatkan bagian-bagiannya seperti daun, batang, buah, umbi, atau akar untuk keperluan obat-obatan, kosmetik, dan kesehatan.
Di Indonesia, tanaman ini sering disebut juga sebagai tanaman obat atau "empon-empon" terutama untuk jenis tanaman yang memiliki rimpang atau akar tinggal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu Secara umum, tanaman biofarmaka di Bengkulu menunjukkan tren beragam.
Beberapa komoditas utama seperti jahe dan kunyit masih menjadi primadona, sementara tanaman seperti kencur, lidah buaya, dan temulawak justru mengalami penurunan luas panen yang cukup drastis.
Jahe dan Kunyit Tetap Jadi Andalan
Jahe tetap menjadi tanaman biofarmaka dengan luas panen tertinggi secara konsisten. Pada 2024, luas panennya tercatat mencapai 2.659.947 m⊃2;, naik dari 2.487.362 m⊃2; pada 2023, dan lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang hanya 2.174.946 m⊃2;.
Artinya, selama lima tahun, luas panen jahe meningkat lebih dari 485 ribu meter persegi, mencerminkan tingginya permintaan dan minat petani terhadap komoditas ini.
Kunyit pun mempertahankan posisinya sebagai salah satu tanaman unggulan. Luas panen tahun 2024 sebesar 1.091.823 m⊃2; sedikit naik dari 1.081.798 m⊃2; di tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih jauh di bawah rekor tertinggi pada 2021 sebesar 1.863.009 m⊃2;.
Baca juga: Produksi Telur Ayam Buras Bengkulu Naik Tipis, Bengkulu Utara Masih Tertinggi
Kencur Menurun Drastis
Salah satu komoditas yang mengalami penurunan paling mencolok adalah kencur. Pada 2022, luas panennya tercatat 548.448 m⊃2;, lalu turun menjadi 278.517 m⊃2; di tahun 2024, penurunan lebih dari 50 persen dalam dua tahun terakhir. Padahal, pada 2021, kencur mencatat angka tertinggi yaitu 945.591 m⊃2;.
Lidah Buaya Terus Merosot
Lidah buaya juga mengalami tren penurunan tajam. Dari 20.155 m⊃2; pada 2021, kini hanya tersisa 7.734 m⊃2; pada 2024.
Ini menunjukkan penurunan minat budidaya atau pergeseran fokus petani ke komoditas lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi.
Temulawak dan Temuireng Menurun Signifikan