Pembunuhan Satu Keluarga di PPU Kaltim

'Tak Punya Uang Tebus HP Rusak' Curhat Siswa SMK ke Temannya Sebelum Bunuh Satu Keluarga di Kaltim

Pelaku JND siswa SMK di PPU Kalimantan Timur sebelum membunuh satu keluarga sempat curhat ke temannya.

Editor: Hendrik Budiman
HO TribunBengkulu.com/Istimewa
Kolase Pelaku JND (Kiri) dan Foto Korban Semasa Hidup (Kanan). 'Tak Punya Uang Tebus HP Rusak' Curhat Siswa SMK ke Temannya Sebelum Bunuh Satu Keluarga di Kaltim 

"Jadi sebelum kejadian ini dia minum-minuman keras bersama temannya, kemudian pulang setengah 12 malam, diantar sama temannya.Begitu sampai di rumah muncullah niat itu (membunuh)," kata Kapolres PPU AKBP Supriyanto saat menggelar jumpa pers terkait kasus pembunuhan satu keluarga yang menghebohkan warga Penajam.

Menurut Reza, narasi pengaruh alkohol berpotensi menggugurkan pasal pembunuhan berencana yang menjerat pelaku.

"Karena, jika pelaku membabi buta dalam keadaan mabuk, maka tidak tertutup kemungkinan dia tidak tepat dikenakan pasal pembunuhan berencana.

Malah mungkin penganiayaan berat," kata Reza Indragiri, dilansir dari Tribunkaltim.

"Bahkan bukan pula penganiayaan berencana; logikanya, orang dalam keadaan mabuk tidak bisa membuat rencana.

Perilakunya cenderung menjadi impulsif," tambahnya.

Reza mengaku setelah membaca kronologis peristiwa dan rangkaian perbuatan pelaku di TKP, tidak mencerminkan orang dalam kondisi mabuk.

"Sisi lain, kejadian mengerikan ini mengingatkan kita bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak memang harus direvisi," ujarnya.

Kata Reza, UU itu memuat pasal-pasal yang meringankan posisi anak pelaku pidana.

"Anggaplah itu cerminan jiwa humanis hukum terhadap anak-anak," kata dia.

"Tapi UU SPPA tidak membuat pengecualian terhadap anak-anak yang tindak pidananya luar biasa biadab."

"Karena itulah, bagi saya, ketika anak sudah mendekati usia dewasa, apalagi jika perbuatannya sedemikian keji, maka justru UU SPPA perlu memuat pasal-pasal pemberatan atau--setidaknya--pengecualian agar pelaku memperoleh ganjaran lebih setimpal," kata Reza.

Reza kemudian memberikan contoh: Ancaman pidana terhadap anak maksimal hanya sepuluh tahun. Tidak boleh lebih dari itu.

"Apakah ini tepat terhadap pelaku seperti di Kaltim? Lebih-lebih, setelah menjalani pemeriksaan kondisi kejiwaan dan segala macamnya. Hampir bisa dipastikan akan mengemuka narasi-narasi yang seolah mendorong kita untuk berempati dan memberikan rasa pengertian atas segala masalah pelaku yang notabene masih berusia anak-anak," kata Reza.

Menurut Reza, itu semua membuat UU justru seolah menjadi tameng bagi pelaku untuk mendapatkan hukuman yang lebih masuk akal.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved