Berita Mukomuko

Respon Sekda Mukomuko Abdiyanto soal Skema Kelas BPJS Kesehatan jadi KRIS

Respon Sekda Mukomuko Abdiyanto soal perubahan kelas BPJS Kesehatan yang diganti jadi Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS.

Panji Destama/TribunBengkulu.com
Seka Mukomuko Abdiyanto. Ia menyambut baik terkait pergantian kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS. 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Panji Destama

TRIBUNBENGKULU.COM, MUKOMUKO - Respon Sekda Mukomuko Abdiyanto soal perubahan kelas BPJS Kesehatan yang diganti jadi Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS.

Sekda Abdiyanto menyambut baik terkait pergantian kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengganti fasilitas kelas I, II dan III dalam BPJS Kesehatan.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang diteken Jokowi pada 8 Mei 2024.

Dengan perpres baru, pemerintah akan menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

“Sebagai bagian dari jajaran dari pemerintahan ditingkat Kabupaten, kami pemerintah Kabupaten Mukomuko menyambut baik apapun kebijakan dari Pemerintah Pusat,” ungkap Sekda Kabupaten Mukomuko, Abdiyanto saat diwawancara, Kamis (16/5/2024).

Abdiyanto menjelaskan, keputusan tersebut menjadi kebijakan dari pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Adanya perubahan kelas nantinya dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Mukomuko.

“Kebijakan dari pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tentu dengan adanya perubahan kelas dapat meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya masyarakat Mukomuko,” jelas Abdiyanto.

Abdiyanto juga berharap dengan adanya perubahan kelas, fasilitas kesehatan masyarakat Kabupaten Mukomuko terjamin.

“Harapan kita masyarakat Kabupaten Mukomuko senantiasa diberikan kesehatan dan keselamatan,” tutup Abdiyanto.

Dilansir dari Tribunnews, penerapan KRIS secara menyeluruh pada fasilitas ruang perawatan di pelayanan rawat inap rumah sakit di seluruh Indonesia yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dilakukan paling lambat pada 30 Juni 2025, sesuai pasal 103B Ayat 1 Perpres Nomor 59 Tahun 2024.

Merujuk pada Pasal 1 ayat 4b aturan itu, KRIS adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh peserta.

Kemudian, rincian standar minimum layanan untuk rawat inap diatur dalam Pasal 46A.

Ada 12 kriteria fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasar KRIS.

Terdiri atas komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, dan nakas per tempat tidur.

Kemudian kriteria lain termasuk temperatur ruangan, ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.

Lalu kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, partisi antar tempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap, kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas, dan outlet oksigen.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikinmenyebut usai berlaku skema KRIS di seluruh rumah sakit, maka peserta BPJS Kesehatanyang sebelumnya berada dalam kategori kelas 3 akan naik menjadi kelas 2 dan kelas 1.

Namun, sebelum standarisasi itu berlaku, Budi meminta publik menunggu aturan teknis mengenai sistem pelayanan pasien BPJS itu.

Pihaknya akan mengeluarkan permenkes sebagai tindak lanjut perpres soal jaminan kesehatan itu.

Budi pun membantah pemerintah akan menghapus kelas 1, 2, 3 usai penerapan KRIS.

Budi menyebut Perpres 59 Tahun 2024 mengatur soal penyederhanaan standar kelas layanan BPJS Kesehatan.

Penyederhanaan dilakukan dengan pertimbangan memperbaiki kualitas layanan BPJS Kesehatan.

Hal senada dikatakan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti.

Ia menyatakan implementasi KRIS tidak menghapus jenjang kelas pelayanan rawat inap bagi peserta.

Menurutnya, perpres tersebut berorientasi pada penyeragaman kelas rawat inap yang mengacu pada 12 kriteria.

Jika ada peserta ingin dirawat pada kelas yang lebih tinggi, maka diperbolehkan selama hal itu dipengaruhi situasi nonmedis.

Pasal 51 aturan itu juga mengatur ketentuan naik kelas perawatan dilakukan dengan cara mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.

Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya pelayanan dapat dibayar oleh peserta bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizky Anugerah menambahkan, sampai dengan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 diundangkan, nominal iuran yang berlaku bagi peserta JKN masih mengacu pada Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018.

Rinciannya, untuk peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas 1 iurannya Rp150 ribu, kelas 2 Rp100 ribu, dan kelas 3 Rp42 ribu per orang per bulan dengan subsidi sebesar Rp7 ribu per orang per bulan dari pemerintah, sehingga yang dibayarkan peserta kelas 3 hanya Rp35 ribu.

Di sisi lain, Rizky menuturkan ada peluang tarif iuran BPJS Kesehatan itu naik. Hal ini tergantung hasil evaluasi penerapan KRIS.

Lebih lanjut, Rizky mengatakan dari perspektif BPJS Kesehatan, KRIS ini sebetulnya upaya untuk meningkatkan standar kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan.

Artinya, jangan sampai kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta JKN di daerah perkotaan berbeda dengan pelayanan di daerah pedesaan atau daerah yang jauh dari pusat ibu kota.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved