Berita Bengkulu Utara

Hukum Adat: Warisan Leluhur yang Melindungi Hutan Enggano

Raut wajah Armaidi (67) penuh semangat saat bercerita. Ia termenung sejenak, mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan perusahaan ‘pencuri kayu’

|
Penulis: Yunike Karolina | Editor: Yunike Karolina
Yunike Karolina/TribunBengkulu.com
Obyek wisata alam populer Danau Bak Blau 'Mata Biru' di Desa Meok, Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu yang keasriannya masih terjaga. 

Tak sia-sia, meski harus berjuang hingga ke pengadilan namun masyarakat adat Enggano berhasil memenangkan gugatan tersebut.

“Kita pun menang di pengadilan, perusahaan kalah, gulung tikar. Sementara lahan yang dibuka sudah tumbuh lagi," kenangnya.

Diketahui, PT. EDP mengajukan dua surat permohonan pelepasan status hutan ke Departemen Kehutanan, pada tanggal 26 September 1991 dan Februari. Dalam suratnya, PT. EDP memohon pembebasan lahan 10.000 hektare. Luasan tersebut lebih dari 20 persen luas pulau Enggano.

Permohonan itu sebenarnya sudah ditolak Menteri Kehutanan dengan dasar Enggano merupakan kawasan pulau yang dicadangkan untuk fungsi hutan lindung serta Hutan Produksi Terbatas. Lokasi pembukaan lahan berada di wilayah Desa Banjarsari dan memanjang melintasi enam desa, yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, hingga Kahyapu.

Namun, bermodalkan surat izin prinsip dari Gubernur Bengkulu Abdullah Razie Jachya yang dikeluarkan pada tahun 1991, EDP mulai mendaratkan alat-alat berat ke hutan Enggano.

Ketika mulai “tertangkap tangan” perusahaan pun berusaha menghilangkan jejak dengan membakar kayu-kayu yang sudah dikumpulkan.

"Belajar dari kejadian EDP, (kami) jadi duduk bersama-sama berembuk, disepakati bersama tidak boleh kayu dibawa ke luar," ucap Milson.

Foto Rumah Adat Enggano
Rumah adat Suku Kaahoao di Desa Apoho, Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu

Hukum Adat Masyarakat Enggano

Konflik PT. EDP menjadi memori pengingat yang tidak akan pernah dilupakan masyarakat adat Enggano.  Sejak itu mereka mulai berpikir pentingnya menghidupkan kembali kesepakatan adat yang mengatur larangan kayu dari Enggano dibawa atau diperjualbelikan ke luar pulau.

Enam kepala suku dan pabuki (koordinator kepala suku) berembug di Eyub Yaahaoa (rumah adat suku Enggano).

Disepakati, aturan adat lama ketika ada warga Enggano ingin membuat rumah dan membuka lahan harus izin terlebih dulu ke ketua suku masing-masing. Kayu-kayu yang ditebang untuk membuat rumah dibatasi. Untuk membangun satu rumah paling banyak membutuhkan lima kubik kayu. Jika kayu yang ditebang memiliki ukuran yang besar-besar biasanya cukup dua batang saja.

"Kalau kayu dalam bentuk jadi seperti kusen rumah, pintu, jendela itu keperluan warga Enggano membuat rumah di Bengkulu itu diperbolehkan. Tapi tetap harus melengkapi administrasi surat menyuratnya juga.Tidak bisa sesuka kita langsung bawa apalagi dibawa bentuk balok," beber Armaidi.

Aturan ini, kata Armaidi berlaku termasuk untuk pendatang yang pindah dan menetap di Enggano. Jika ada yang melanggar selain kayu disita juga berlaku sanksi adat yang diputuskan lewat musyawarah adat.

Meski belum menjadi bentuk peraturan tertulis namun sudah disepakati dan diketahui masyarakat Enggano.

"Ini turun temurun ke anak cucu karena itu bersejarah. Tidak bisa semaunya orang membuka hutan dan menebang kayu. Bisa habis hutan kita, dan akibatnya Enggano bisa tenggelam," ungkap Armaidi.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved