Berita Bengkulu Utara

Hukum Adat: Warisan Leluhur yang Melindungi Hutan Enggano

Raut wajah Armaidi (67) penuh semangat saat bercerita. Ia termenung sejenak, mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan perusahaan ‘pencuri kayu’

|
Penulis: Yunike Karolina | Editor: Yunike Karolina
Yunike Karolina/TribunBengkulu.com
Obyek wisata alam populer Danau Bak Blau 'Mata Biru' di Desa Meok, Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu yang keasriannya masih terjaga. 

TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU - Raut wajah Armaidi (67) penuh semangat saat bercerita. Ia termenung sejenak, mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan perusahaan ‘pencuri kayu’.

Meski baru pulang dari membersihkan kebun miliknya, kakek dari 11 cucu itu ramah menyambut kedatangan TribunBengkulu.com di kediamannya, Desa Meok Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.

Armaidi masih ingat, bagaimana hutan mereka di Desa Banjarsari dan Meok sekejap berubah menjadi labirin jalan setapak yang menganga.

Mesin gergaji berlomba mengoyak keheningan hutan, mengusik roh-roh leluhur yang dipercaya mendiami setiap sudut pulau. Pohon-pohon besar yang telah menjadi saksi bisu sejarah leluhur mereka ditebang tanpa ampun.

Kala itu,  tahun 1998, PT. Enggano Dwipa Perkasa (EDP) masuk ke Enggano dengan dalih membuka perkebunan Melinjo (Gnetum gnemon, L) . Belakangan diketahui, rencana itu hanyalah modus untuk membabat hutan.

Tak ingin kehilangan sumber mata pencaharian, identitas dan nilai-nilai spiritualitas, masyarakat Enggano berontak. Mereka berinisiatif memblokade jalan menuju lokasi penebangan untuk mencegah truk-truk pengangkut kayu-kayu batangan ke luar dari pulau.

Bentrokan fisik antara masyarakat Enggano dan para pekerja perusahaan tak terelakan. Banyak pekerja tunggang langgang berlarian meninggalkan kayu-kayu batangan.

"Ternyata tujuannya itu mengambil kayu, ketahuan dengan warga lalu bentroklah dengan Suku Enggano," terang Ketua Suku Kauno Armaidi, Sabtu sore (20/7/2024).

Kecurigaan masyarakat Enggano terhadap PT. EDP berawal dari didapatnya kuasa ploting area seluas 10.000 hektare. Mulanya perusahaan berencana membuat usaha pakan ternak. Namun berubah menjadi perkebunan melinjo dengan melakukan penebangan hutan seluas 2.400 hektare.

"Saya perhatikan ketika itu kok narik dan angkut-angkut kayu. Kita protes menolak, ternyata di lokasi perusahaan itu ditemukan kayu-kayu menumpuk ada yang sebesar drum,” kenang Armaidi.

Kepala Suku Kauno
Ketua Suku Kauno Armaidi saat bercerita mengenang perlawanan masyarakat Enggano melawan PT. EDP.

Pabuki Milson Kaitora (57) pun menyampaikan hal serupa.

Ketika terjadi konflik masyarakat Enggano dengan PT EDP, Milson saat itu masih muda. Namun ia masih mengingat perlawanan Ayahnya bersama masyarakat Enggano lainnya,  memprotes keberadaan PT. EDP yang ditengarai hanya ingin  mencuri kayu-kayu Enggano yang berkualitas.

Lantaran, lahan sudah dibuka namun bibit tidak kunjung ditanam. Kecurangan perusahaan ini pun terendus oleh Yayasan Karya Enggano yang saat itu diketuai Bungaran Kahruba, paman dari Milson.

Selidik punya selidik, mulai ditemukan orang-orang perusahaan yang sudah mengumpulkan kayu-kayu berbentuk gelondongan.

Masyarakat Enggano yang akhirnya mengetahui jika hutan Enggano dibuka hanya untuk diambil kayu, mulai melakukan aksi protes menolak keberadaan PT EDP. Lima kepala suku Enggano mengirim surat kepada Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam Negeri, untuk meminta penebangan hutan oleh PT. EDP dilarang dan harus dihentikan.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved