Purbaya Yudhi Sadewa

Apa Itu Redenominasi Rupiah, Mengapa Penting dan Apa Masalahnya? Menkeu Purbaya Targetkan Tahun 2027

Menkeu Purbaya targetkan redenominasi rupiah rampung 2027. Apa itu, urgensinya, dan tantangan yang harus dihadapi masyarakat?

Tangkap Layar Kompas TV
MENKEU PURBAYA - Kolase Menkeu Purbaya dan gambar uang rupiah redenominasi yang beredar di media sosial. Lantas Apa itu redenominasi, urgensinya, dan tantangan yang harus dihadapi masyarakat? 

Indonesia kini berada pada tahap serupa.

Urgensi redenominasi meningkat karena faktor psikologis masyarakat menghadapi fenomena nominal illusion—persepsi salah bahwa harga barang mahal hanya karena angka yang besar (Shafir, 1997). 

Dengan harga sehari-hari yang ditulis dalam jutaan atau miliaran, muncul kesan bahwa ekonomi terlalu mahal, padahal daya beli riil tidak berubah. 

Redenominasi menghilangkan bias ini dan membuat persepsi harga lebih realistis.

Dari sisi teknologi, sistem pembayaran kini berbasis digital, bukan lagi kertas. Nol panjang meningkatkan risiko kesalahan input dan biaya administrasi transaksi (Graf & Li, 2021). 

Di era ekonomi digital real-time, nominal panjang menjadi hambatan efisiensi.

Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, penyederhanaan nominal rupiah menjadi konsekuensi logis.

Secara kredibilitas internasional, Mankiw (2021) menegaskan bahwa mata uang dengan denominasi ringkas dipandang lebih stabil dan modern. 

Negara yang bertransformasi menuju kelompok berpendapatan tinggi cenderung merapikan denominasi sebagai bagian dari penguatan reputasi keuangan. Indonesia kini sedang menuju tahap tersebut.

Meski secara ekonomi redenominasi tidak menurunkan nilai uang, tantangan utamanya ada pada persepsi masyarakat. 

Akyaz dan Aknc (2020) mencatat bahwa di Turki masyarakat sempat salah paham karena angka pada struk tiba-tiba menjadi kecil.

Dalam teori perilaku keuangan, manusia lebih takut pada apa yang terlihat seperti “kerugian”, meski tidak ada kerugian riil (Kahneman & Tversky, 2013).

Jika sosialisasi tidak tepat, perubahan nominal dapat memicu kecemasan, spekulasi, atau hoaks, misalnya isu bahwa “uang mengecil”. 

Ada pula risiko inflasi psikologis, jika pecahan kecil tidak tersedia atau pedagang salah membulatkan harga, barang Rp 1.200 bisa menjadi Rp 2 setelah redenominasi, sehingga konsumen dirugikan. 

Keberhasilan redenominasi bukan hanya soal aturan pemerintah, tetapi juga kesiapan pelaku usaha, kasir, UMKM, hingga pedagang kelontong.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved