Ketua KPU Divonis Melanggar Etik

Dampak Putusan DKPP Vonis Ketua KPU Langgar Etik Loloskan Gibran, Jalannya Pemilu 2024 Dipertanyakan

Dampak Putusan DKPP Vonis Ketua KPU Langgar Etik Loloskan Gibran Sebagai Cawapres, Jalannya Pemilu 2024 dipertanyakan

Editor: Hendrik Budiman
HO TribunBengkulu.com/Istimewa
Kolase Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan di Gedung DKPP (kiri) dan Bivitri Susanti, pengajar Jentera Institute (kanan). Dampak Putusan DKPP Vonis Ketua KPU Langgar Etik Loloskan Gibran, Jalannya Pemilu 2024 Dipertanyakan 

TRIBUNBENGKULU.COM - Dampak dari keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari melanggar etik karena meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres adalah pemilu semakin kehilangan legitimasinya.

Pernyataan itu disampaikan oleh Bivitri Susanti, pengajar Jentera Institute, dalam dialog Kompas Petang di KompasTV, Senin (5/2/2024).

“Jadi yang saya lihat adalah dampak politik pada legitimasi pemilu. Pemilu kali ini semakin kehilangan legitimasinya,” kata Bivitri.

Ia kemudian mengingatkan bahwa masalah etik yang terjadi pada pemilu kali ini bukan yang pertama kali terjadi.

“Perlu saya ingatkan bahwa pemilu kali ini bukan pertama kali ada persoalan etik yang mengganggu, meskipun lagi-lagi dampak hukumnya tidak secara langsung. Kan dulu juga Majelis Kehormatan MK juga sudah mempersoalkan etik dari pamannya Gibran (Anwar Usman-red), dan ini etik lagi,” tambahnya.

Baca juga: Mencuat Desakan Prabowo-Gibran Didiskualifikasi Buntut Ketua KPU Divonis Melanggar Etik

Ia juga mengingatkan bahwa teguran keras terakhir yang dijatuhkan DKPP pada KPU ini sebenarnya yang ketiga.

“Ada teguran keras terakhir, juga istilah terakhirnya digunakan pada Bulan April 2023 untuk kasus wanita emas.”

“Kemudian ada pelanggaran atau teguran keras pada Oktober 2023 untuk keterwakilan perempuan, dan ini teguran keras terakhir lagi, yang ketiga, ibaratnya seperti kena SP3 kepada Ketua KPU. Jadi kelihatan betul di sini profesionalitas KPU dan integritas mereka sudah bisa dipertanyakan,” bebernya.

Jalannya Pemilu 2024 dipertanyakan

Saat ditanya mengenai bagaimana jalannya pemilu ke depan, Bivitri mengaku bahwa dirinya pun turut mempertanyakan.

“Saya ikut mempertanyakan sebenarnya, tanpa memihak psalon mana pun. Menurut saya ini persoalan bagaimana kita mau memaknai pemilu, bukan sekadar sebagai proses yang harus dilewati begitu aja, harus nyoblos, terus berlalu.”

“Tapi ini adalah soal demokrasi, soal bagaimana legitimasi pemerintahan yang berikutnya,” tutur Bvitri.

Dalam dialog tersebut, Bivitri juga menyebut bahwa putusan DKPP tersebut tidak berdampak secara hukum terhadap KPU.

“Dampaknya terhadap KPU memang kalau secara hukum ya kita agak terkunci di sini, tapi kita nanti harus bicara juga dampak secara politik,” kata dia.

“Kalau secara hukum memang betul bahwa yang namanya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu itu dewan etik sebenarnya. Jadi dia memang memutuskan memang hanya untuk perilaku KPU dan Bawaslu, dalam hal ini KPU ya.”

Saat ini, lanjut dia, KPU tinggal melaksanakan putusan DKPP, namun tidak berdampak hukum secara langsung pada penetapan Prabowo-Gibran.

“Maka tinggal dilaksanakan saja, tapi itu tidak berdampak hukum secara langsung pada penetapan Prabowo-Gibran.”

“Kalau putusan DKPP ini mau ditindaklanjuti ke Bawaslu untuk meminta pembatalan penetapan, atau kalau mau diteruskan ke forum-forum lain, PTUN misalnya atau nanti di ujung di perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, bisa saja,” beber Bvitri.

Muncul Desakan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

Buntut putusan tersebut, mencuat desakan untuk mendiskualifikasi pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Pengadu Petrus Selestinus, misalnya, meminta supaya lembaga penyelenggara pemilu itu mendiskualifikasi pencalonan putra tertua Presiden Joko Widodo tersebut.

"Secara moral legitimasi KPU telah mengalami kehancuran di mata publik dan untuk mengembalikan legitimasinya itu, maka KPU RI tidak punya pilihan lain selain harus berjiwa besar mendeklarasikan sebuah keputusan progresif," kata Petrus ketika dikonfirmasi Kompas.com.

"Pertama, mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024," ujarnya.

Kedua, menurut Petrus, KPU harus memerintahkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengajukan calon pengganti capres-cawapres tanpa Prabowo-Gibran.

Ia juga mengungkit bahwa pencalonan Gibran sebelumnya melibatkan pelanggaran etika berat eks Ketua Mahkamah Konstitusi yang notabene pamannya, Anwar Usman.

"Ketiga, menunda penyelenggaran Pemilu dalam waktu 2 x 14 hari terhitung sejak tanggal 14 Februari 2024 agar partai KIM mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden pengganti, akibat diskualifikasi terhadap capres-cawapres Prabowo-Gibran," kata dia.

Petrus menekankan, putusan DKPP menempatkan Gibran maju sebagai cawapres melalui perbuatan melanggar etika, sehingga tidak layak dan pantas mendampingi Prabowo.

Desakan serupa juga muncul dari warganet menyusul putusan DKPP itu.

Topik Ketua KPU sempat menjadi trending di media sosial X (twitter) dan memiliki 88,6 ribu postingan.

Sejumlah warganet mendesak Gibran didiskualifikasi dan dianggap tidak layak mendampingi Prabowo karena pencalonannya di atas dua pelanggaran etik.

Pertama, pelanggaran etik berat dilakukan pamannya Anwar Usman yang merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan ketua KPU RI Hasyim Asy'ari yang baru divonis DKPP.

"Ini artinya pencalonan Gibran berdiri dia atas dua pelanggaran etik: Pelanggaran etik oleh pamannya di MK, dan pelanggaran etik oleh ketua KPU. Rezim ini jelas koruptif, dan gw yakin ini cuma puncak gunung es," tulis akun Grady Nagara.

Sementara itu, akun @Riweh_Banget, mendesak Gibran didiskulifikasi sebagai cawapres. "Ketua KPU terbukti melanggar Etik karena menerima pencalonan Gibran sebagai Cawapres. Wow gua kira cuma MK, ternyata KPU juga. Layak Diskualifikasi."

"Kemarin ketua MK-nya dah dipecat karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat demi meloloskan Gibran jadi cawapres, dan sekarang ketua KPU nya juga sudah diputuskanmelanggar etik. Artinya GIbran ini TIDAK SAH jadi Cawapres." Akun @Eva Sri Diana Chaniago ikut mencuit.

Ketua KPU RI Hasyim Asyari divonis melakukan pelanggaran etik dan mendapatkan peringatan keras terakhir. (Sekretariat Kabinet)

Peluang Diskualifikasi Gibran

Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Muhammad, menyebut bahwa DKPP sebenarnya bisa saja membuat pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden ditinjau ulang melalui putusannya pagi ini.

Dalam putusan pagi Senin, seluruh komisioner KPU RI dinilai melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran sebagai cawapres.

Pendaftaran Gibran diterima tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

DKPP menegaskan, putusan itu hanya berlaku secara etik untuk para komisioner teradu, dan tidak berdampak secara hukum pada pencalonan Gibran.

"Kalau misalnya DKPP-nya progresif, dia bisa saja meminta KPU melakukan koreksi terhadap proses-proses yang dilakukan. Tapi dalam putusan itu kan tidak dilakukan," ujar Muhammad kepada Kompas.com, Senin (5/2/2024).

"Kita berharap putusan etik itu sebenarnya bisa dipedomani sebagai rambu-rambu kalau ada yang tidak tertib hukum ya. Karena ini kan tidak tertib hukum--dengan penjatuhan sanksi ini KPU tidak tertib hukum. Tapi, putusan DKPP rupanya tidak masuk (ke sisi hukum)," ungkapnya.

Muhammad menambahkan, sifat putusan DKPP final dan mengikat. Para teradu tidak bisa meninjau kembali putusan itu. Mereka harus melaksanakan putusan DKPP.

"Apakah kemudian ada dampak terhadap pencalonan Gibran, ya sepanjang di putusan DKPP tidak disebutkan bahwa pencalonan Gibran bermasalah dan harus dikoreksi, ya tidak ada dampaknya," kata Muhammad.

Putusan DKPP

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari divonis melanggar etik dan mendapatkan sanksi peringatan keras, oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah membacakan putusan tersebut pada Senin (5/2/2024).

Ketua KPU RI terbukti telah melakukan pelanggaran etik karena menerima dan memproses pendaftaran Gibran.

Proses pendaftaran Gibran dilakukan tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 tahun 2023 sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Berdasarkan pertimbangan dan kesimpulan disebut di atas, memutuskan, satu, mengabulkan pengaduan para penganut untuk sebagian," kata Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan di Gedung DKPP, Jakarta, Senin.

Atas pelanggaran itu, Hasyim Asy'ari dijatuhi sanksi berupa peringatan keras terakhir.

"Dua, menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari," tambah Heddy.

Selain itu, kata Wiarsa, DKPP menyoroti sikap para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik setelah putusan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres.

KPU malah lebih memilih menyurati pimpinan partai, ketimbang melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah dan itu dianggap menyimpang dari Peraturan KPU.

"Para teradu dalam menaati putusan MK a quo dengan bersurat terlebih dulu kepada pimpinan partai politik adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan perintah Pasal 10 Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di lingkungan KPU," ucap Wiarsa.

Artikel ini telah tayang di Kompas.tv

Dapatkan informasi lainnya di GoogleNews: Tribun Bengkulu

Ikuti saluran WA TribunBengkulu.com

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved