Opini

Opini: Huru-hara Pajak Melejit, Pemerintah Vs Rakyat

Persoalan utama sebenarnya bukan sekadar angka, melainkan legitimasi. Pajak bukan hanya soal legalitas hukum, tetapi juga soal rasa keadilan.

Editor: Yunike Karolina
HO TribunBengkulu.com
OPINI PAJAK - Kolase foot Mufti Afif, sosok penulis opini 'Huru-hara Pajak Melejit: Pemerintah Vs Rakyat'. Mufti Afif adalah Kepala Program Studi Ekonomi Islam UNIDA Gontor. 

**Oleh Dr. Mufti Afif, Lc., M.A., AWPS., CSFT

TRIBUNBENGKULU.COM - Pajak selalu disebut sebagai salah satu penopang utama pembiayaan negara.

Dalam teori ekonomi politik, ia digambarkan sebagai kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Namun kontrak ini rapuh ketika rasa keadilan hilang.

Lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah menjadi buktinya.

Di Pati, kenaikan mencapai 250 persen, bahkan di Cirebon melonjak hingga 1.000 persen.

Angka-angka itu bukan sekadar catatan statistik, melainkan pukulan telak bagi dapur rumah tangga yang sudah terseok oleh kebutuhan sehari-hari.

Bersamaan dengan itu, pemerintah pusat menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.

Alasannya, memperkuat penerimaan negara dan menjaga keberlanjutan fiskal. Secara teori, argumen itu dapat diterima.

Namun kenyataan di lapangan berbeda. Kenaikan PBB-P2 di daerah bersamaan dengan PPN di pusat membuat masyarakat menanggung beban ganda.

Tidak heran demonstrasi besar pecah di Pati dan kegaduhan merebak di berbagai daerah lain. Respon itu wajar, karena publik merasa keputusan diambil sepihak tanpa menimbang kemampuan mereka bertahan hidup.

Persoalan utama sebenarnya bukan sekadar angka, melainkan legitimasi. Pajak bukan hanya soal legalitas hukum, tetapi juga soal rasa keadilan.

Kenaikan PBB-P2 yang melambung tinggi tanpa musyawarah publik mencerminkan jarak komunikasi antara pemerintah daerah dan warganya.

Ketika Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) diperbarui tanpa transparansi, muncul kesan bahwa kepentingan fiskal lebih dominan dibanding perhitungan objektif.

Akibatnya, pajak kehilangan fungsinya sebagai instrumen pemerataan, dan dipersepsikan sekadar alat pemaksaan.

Kebijakan fiskal yang tidak berkeadilan membawa risiko sosial yang besar. Masyarakat yang tercekik beban akan kehilangan kepercayaan pada institusi pemerintah.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved