Itu sebabnya Jack Marpuang tidak pernah betah di rumah.
Sejak kecil, ia memilih hidup di jalanan bersama teman-temannya.
Ganja menjadi pelarian hidupnya, dan perkelahian adalah pelampiasan emosinya.
Hingga ketika Jack telah beranjak dewasa, ia memilih untuk meninggalkan rumah dan hidup di terminal.
Bergaul dengan para preman membuat Jack semakin berani, bahkan polisi pun di anggap enteng olehnya.
“Ada teman yang berantem, lalu polisi datang. Teman-teman saya dipukuli oleh polisinya, lalu ada satu orang yang mengadu sama saya. Kemudian saya datang sambil bawa pisau, saya kejar polisi itu. Saat saya kejar, polisi itu mengambil pistol dan menembak saya. Perut saya tertembus dan saya tidak sadar,”kenangnya.
Sekalipun lolos dari maut akibat tembakan polisi itu, namun Jack tidak bisa lolos dari jerat hukum. Ia harus mendekam di penjara selama beberapa lama. “Orang tua saya sudah tidak peduli lagi, tidak pernah besuk sama sekali. Saya sudah dianggap tidak berharga lagi, saking selalu bikin onar, dan bikin rugi. Saya merasa sedih dan menangis juga sih,” ujarnya.
Selepas dari penjara, Jack bersama teman-temannya mencoba mengubah jalan hidup dengan mengejar impian untuk menjadi penyanyi terkenal di Jakarta.
Namun ketika sampai di ibu kota, apa yang dijumpai oleh Jack dan teman-temannya sangat jauh dari harapan.
“Harapan saya memang Jakarta itu menjanjikan. Tapi begitu sampai Jakarta, saya pengen pulang rasanya karena tidak seperti yang saya bayangkan,”katanya.
Tanpa kenal siapapun Jack mencoba menaklukan ibu kota. Mulai dari terminal Grogol dan berkenalan dengan sesama orang Batak ia mencoba bertahan hidup.
Makan nasi dan tempe, hidup bagai gelandangan pun dijalani. Bahkan suatu waktu ia tergoda untuk melakukan tindak kejahatan.
“Saya naik bus, lalu saya lihat ada uang di kantong orang. Kalau saya ambil pasti bisa, tapi saya terbayang kembali janji kepada orang tua, ‘Jangan mencuri, jangan mencopet, apapun jangan.’ Saya aturan turun masih jauh, saya langsung turun dari bis itu supaya jangan tergoda dan melakukan hal itu,”kenangnya.
Sejak itu, Jack Marpaung bersama teman-temannya bekerja keras untuk menawarkan musik mereka kepada hotel-hotel.
Namun hal itu bukanlah sesuatu yang mudah, penolakan demi penolakan mereka alami.
“Setelah satu tahun baru dapat job di Hotel Borobudur,”ujarnya.
Berkat dedikasi dan kerja keras, panggilan untuk melakukan show di berbagai hotel terkenal di Jakarta pun berdatangan. Saat itulah terbentuk Trio Lasidos.
Trio Lasidos yang terdiri dari Jack Marpaung, Bunthora Situmorang, dan Hilman Padang.
Ketika meniti karir sebagai penyanyi dari satu hotel ke hotel lain itulah, Jack bertemu dengan seorang wanita yang kemudian menjadi pendamping hidupnya.
Hal ini pun bukan proses yang mudah, karena ayah mertuanya menolak memiliki menantu seorang penyanyi.
Akhirnya Jack dan istrinya kawin lari. Awal pernikahan mereka sangat bahagia, namun hal ini mulai berubah ketika Trio Lasidos mendapatkan tawaran rekaman.
“Kaset saya meledak, saya mulai sombong. Mulai sudah merasa hebat. Show dari satu daerah ke daerah lain, kadang-kadang satu bulan di daerah, dan kita nggak pernah pikirkan istri,”ujarnya.
Tidak hanya melupakan keluarganya, Jack pun mulai terlena dengan popularitas dan hidup dalam pesta pora.
Minuman keras yang disandingkan dengan narkoba membuat Jack semakin lupa diri. Pulang pagi dalam keadaan mabuk menjadi bagian dari keseharian Jack, hal ini mulai menjadi sumber pertengkarannya dengan istri bahkan membuat bahtera rumah tangganya di ambang kehancuran.
Sekalipun menghadapi Jack yang selalu mabuk, dan menerima cacian dan makian, istrinya tetap bertahan karena tidak ingin melihat Jack hancur. Saat pulang dalam keadaan mabuk, tanpa setahu Jack, sang istri selalu mendoakannya. Hingga pada tahun 1987, saat itu ia memilih bersolo karir, sesuatu yang tidak pernah diduganya terjadi.
“Saya sedang show di Pekan Baru, lalu ada berita saya ditangkap polisi karena membawa ganja 100 kilo, di Jakarta geger karena berita itu. Anak saya (Novita Dewi) telepon ke Pekan Baru sambil menangis: “Papa di penjara ya?”tanya Dewi. “Enggak, saya lagi di hotel,” jawa Jack.
“Di sini sudah terberita, semua bilang papi dipenjara. Papi pulang..”ujar Dewi.
Saat Jack kembali ke Jakarta, ia menemukan sebuah kenyataan yang pahit. Semua shownya telah dibatalkan karena isu itu. Dan semua produser, menolak lagu buatannya.
“Jadi tidak ada pemasukan sama sekali, saya bingung dan tidak bisa bilang apa-apa. Istri mencoba membantu dengan berbisnis, malah ditipu oleh orang. Akibatnya hutang pun melilit, dan memaksa saya menjual mobil dan rumah,"kenang Jack.
Jack pun membawa keluarganya untuk hidup dalam kesederhanaan. Ia pun melepaskan keterikatannya kepada ganja, serta bersama istri dan anak-anaknya semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. “Apa yang saya tidak pikirkan, apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak diduga oleh hati saya, itu yang Tuhan siapkan bagi saya. Dan saya sudah nikmati itu, damai sejahtera, sukacita yang belum pernah saya rasakan. Karena Tuhan Yesus saya begini,”ujarnya.
Kisah itu pula melahirkan dirinya membuat lagu “Di Kamar 13 Hutobus Dosaki”.
Kini, Tuhan mengubah jalan hidup Jack, ia kini bersama istri memberikan hidupnya untuk melayani Tuhan dan menyerahkan hidupnya sepenuhnya ditangan Tuhan.
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com