Tolak RUU Penyiaran

IJTI Bengkulu Tolak Keras Pasal Kontroversial RUU Penyiaran: Tugas Pers Kontrol Sosial

Ramai-ramai tolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran atau RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI.

Penulis: Romi Juniandra | Editor: Yunike Karolina
HO Hery Supandi
Wakil Ketua IJTI Bengkulu Hery Supandi. IJTI menolak keras pasal kontroversial di RUU Penyiaran. 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Romi Juniandra

TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU - Ramai-ramai tolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran atau RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI.

Setelah akademisi Universitas Bengkulu (Unib) Bengkulu angkat bicara, kali ini Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Bengkulu menyatakan menolak keras RUU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2024 yang memuat pasal-pasal kontroversial.

Wakil Ketua IJTI Provinsi Bengkulu Hery Supandi mengatakan, salah satu pasal yang paling disoroti adalah pasal 50B Ayat (2) huruf c, yang redaksi pasal melarang penayangan eksklusif jurnalisitik investigasi.

Hery mengatakan roh media adalah jurnalistik investigasi, namun dalam RUU ini jurnalistik investigasi malah dibatasi.

"Ivestigasi ini mengungkap fakta yang sebenarnya dengan berbagai sumber dan latar belakang, yang jelas bukan sesuatu yang dibuat-buat. Mengapa hal yang benar malah dilarang," kata Hery kepada TribunBengkulu.com, Senin (27/5/2024).

IJTI juga mempertanyakan keberadaan pasal kontroversial ini dalam RUU Penyiaran, yang seolah-olah pembuat kebijakan negara takut akan diungkap kesalahannya.

"Padahal tugas kita pers sebagai kontrol sosial. Kita mengecam dan menolak keras RUU tersebut," ujar Hery.

Baca juga: Akademisi Unib Kritisi Pasal Kontroversial di RUU Penyiaran, Ancam Kebebasan Pers dan Demokrasi

Dikritisi Akademisi Unib

Akademisi Universitas Bengkulu (Unib) Dwi Aji Budiman juga mengkritisi dan menilai jika pasal-pasal kontroversial dalam RUU Penyiaran diloloskan oleh DPR dan pemerintah, maka akan membuat kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unib ini mengatakan ada sejumlah pasal yang jadi sorotan seperti yang tertulis dalam draf RUU Penyiaran versi 27 Maret 2024, antara lain Pasal 8A Ayat (1) huruf q, dan Pasal 50B Ayat (2) huruf c, serta beberapa pasal lain seperti Pasal 50B Ayat (2) huruf k, dan pasal 51E.

Seperti pasal 50B Ayat (2) huruf c, yang redaksi pasal melarang penayangan ekslusif jurnalisitik investigasi.

Dwi mengatakan jika jurnalistik investigas merupakan ruh tertinggi dalam dunia jurnalistik, dan karya tertinggi dari seorang jurnalis.

Jurnalistik investigatif mampu membawa fakta dan data lapangan untuk disampaikan ke masyarakat. Peliputannya juga membutuhkan waktu yang lama, berbeda dengan berita cepat spot news.

Jika pasal ini benar-benar diloloskan dan diterapkan, maka Dwi menilai akan berdampak mengekang kebebasan pers dan karya jurnalistik di Indonesia.

"Ini jelas menjadi ancaman, bagi kebebasan pers, dan juga bagi jurnalis itu sendiri," kata Dwi kepada TribunBengkulu.com, Kamis (23/5/2024).

Pasal lain yang juga jadi sorotan adalah Pasal 8A Ayat (1) huruf q, yang pada intinya menyatakan sengketa pers diselesaikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pasal ini juga tersambung ke Pasal 51E, dimana sengketa pers akibat putusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan.

"Ini lucu, dan mendiskreditkan kebebasan pers. Selama ini sengketa pers diselesaikan melalui Dewan Pers, bekerjasama dengan instansi terkait seperti kepolisian dan instansi lainnya. Ada hak jawab, hak koreksi, dan lainnya sudah diatur," ujar Dwi.

Pasal 8A Ayat (1) huruf q ini juga dinilai menimbulkan dualisme wewenang, antara KPI dan Dewan Pers.

KPI, kata Dwi, seharusnya tetap berada di fungsi awal, mengawasi tayangan yang menimbulkan kegaduhan, tayangan yang melanggar etika, serta tugas lainnya.

Sementara, sengketa pers dalam jurnalistik, harus tetap diserahkan kepada Dewan Pers, seperti yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya.

Dwi mengatakan saat ini semua pihak harus mencermati dan mengkritisi pasal-pasal kontroversial ini, agar tidak lolos menjadi sebuah UU yang mendiskreditkan pers.

"Kita setuju jika ada perubahan melalui RUU Penyiaran ini, namun pasal-pasal kontroversial ini harus kita kritisi," ungkap Dwi.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved