Tolak RUU Penyiaran

Akademisi Unib Kritisi Pasal Kontroversial di RUU Penyiaran, Ancam Kebebasan Pers dan Demokrasi

Akademisi Universitas Bengkulu (Unib) Dwi Aji Budiman angkat bicara soal RUU Penyiaran yang saat ini ramai mendapat penolakan.

|
Penulis: Romi Juniandra | Editor: Yunike Karolina
HO TribunBengkulu.com/Dwi Aji Budiman
Akademisi Universitas Bengkulu (Unib), Dwi Aji Budiman. Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unib ini ikut menyoroti sejumlah pasal kontroversial di RUU Penyiaran. 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Romi Juniandra

TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU - Akademisi Universitas Bengkulu (Unib) Dwi Aji Budiman angkat bicara soal RUU Penyiaran yang saat ini ramai mendapat penolakan.

Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unib ini menilai jika pasal-pasal kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran diloloskan oleh DPR dan pemerintah, maka akan membuat kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Menurut analisisnya, ada sejumlah pasal yang jadi sorotan seperti yang tertulis dalam draf RUU Penyiaran versi 27 Maret 2024, antara lain Pasal 8A Ayat (1) huruf q, dan Pasal 50B Ayat (2) huruf c, serta beberapa pasal lain seperti Pasal 50B Ayat (2) huruf k, dan pasal 51E.

Seperti pasal 50B Ayat (2) huruf c, yang redaksi pasal melarang penayangan ekslusif jurnalisitik investigasi.

Dwi mengatakan jika jurnalistik investigas merupakan ruh tertinggi dalam dunia jurnalistik, dan karya tertinggi dari seorang jurnalis.

Jurnalistik investigatif mampu membawa fakta dan data lapangan untuk disampaikan ke masyarakat.

Peliputannya juga membutuhkan waktu yang lama, berbeda dengan berita cepat spot news.

Jika pasal ini benar-benar diloloskan dan diterapkan, maka Dwi menilai akan berdampak mengekang kebebasan pers dan karya jurnalistik di Indonesia.

"Ini jelas menjadi ancaman, bagi kebebasan pers, dan juga bagi jurnalis itu sendiri," kata Dwi kepada TribunBengkulu.com, Kamis (23/5/2024).

Pasal lain yang juga jadi sorotan adalah Pasal 8A Ayat (1) huruf q, yang pada intinya menyatakan sengketa pers diselesaikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pasal ini juga tersambung ke Pasal 51E, dimana sengketa pers akibat putusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan.

"Ini lucu, dan mendiskreditkan kebebasan pers. Selama ini sengketa pers diselesaikan melalui Dewan Pers, bekerjasama dengan instansi terkait seperti kepolisian dan instansi lainnya. Ada hak jawab, hak koreksi, dan lainnya sudah diatur," ujar Dwi.

Pasal 8A Ayat (1) huruf q ini juga dinilai menimbulkan dualisme wewenang, antara KPI dan Dewan Pers.

KPI, kata Dwi, seharusnya tetap berada di fungsi awal, mengawasi tayangan yang menimbulkan kegaduhan, tayangan yang melanggar etika, serta tugas lainnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved