Suami Bunuh Istri di Kepahiang

Respon PUPA Bengkulu Kasus Suami Bunuh Istri di Kepahiang, Muncul Faktor Ego Dari Sang Suami

Respon PUPA Bengkulu, soal Kasus Suami Bunuh Istri di Kepahiang, masih adanya budaya patriaki di dalam keluarga.

Jiafni Rismawarni/TribunBengkulu.com
Direktur Yayasan Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA), Susi Handayani. Respon PUPA Bengkulu Kasus Suami Bunuh Istri di Kepahiang, Muncul Faktor Ego Dari Sang Suami 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Panji Destama

TRIBUNBENGKULU.COM, KEPAHIANG - Direktur Yayasan PUPA Bengkulu Susi Handayani, turut menanggapi kasus suami bunuh istri di Kepahiang beberapa waktu lalu. 

Menurut Susi kasus suami bunuh istri di Kepahiang ini, ada banyak kemungkinan yang mempengaruhi hubungan rumah tangga mereka hingga akhirnya terjadi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). 

"Kalau dilihat dari Kronologinya (suami bunuh istri, red) adanya budaya patriaki atau seorang laki-laki memiliki kuasa karena dia kepala keluarga," ungkap Susi saat diwawancarai, pada Selasa (24/10/2023). 

Lanjut Susi, dimana seorang laki-laki yang memiliki kuasa lebih atas istrinya ini saat istri menegur, suaminya ini merasa direndahkan. 

Sehingga ego dari seorang laki-laki muncul, disamping adanya beberapa faktor lain juga yang mempengaruhi ego dari sang suami. 

"Seperti kondisi rumah tangga yang sedang tak harmonis, kemudian ada persoalan ekonomi, lalu masalah komunikasi ataupun masalah rumah tangga lainnya," tuturnya. 

Baca juga: Suami Bunuh Istri di Kepahiang Dijerat Pasal KDRT, Pelaku Terancam 15 Tahun Penjara

Ia juga menjelaskan, terkait adanya beberapa faktor itu yang membuat seorang suami terlihat tak berdaya. 

Karena faktor budaya patriaki ini, dimana pelaku merasa memiliki kuasa atas istri dan keluarga hingga akhirnya pelaku tersinggung. 

"Dia (pelaku, red) merasa marah, menurut pelaku harga dirinya direndahkan, jadi lebih pada konteks budaya patriaki yang terinternalisasi dalam pikiran dan tindakan si pelaku. Dimana pelaku merasa direndahkan, dia bertindak menunjukkan arogansi dia sebagai kuasa, ini dalam konteks gender dan feminis," jelasnya. 

Susi mengatakan, kenapa terjadinya kekerasan terhadap perempuan, pada dasarnya konteks relasi kuasa yang dimiliki. 

Jika realisi kuasa itu disinggung atau direndahkan, maka si laki-laki itu akan membalas dengan melakukan tindakkan, kekerasan ataupun kerendahan terhadap perempuan. 

"Perihal kasus seperti ini, pentingnya pendidikan gender di dalam keluarga, bagaimana misalnya keluarga memahami peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga, serta bagaimana cara menghormati perempuan dan laki-laki dalam keluarga, serta untuk anak laki-laki dan perempuan perihal pembagian peran mereka,

"Jika dilakukan seperti itu, maka akan merubah pola pikir, antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, mereka bisa berperan sesuai dengan kapasitasnya. Sehingga jika ada persoalan semuanya bisa dikomunikasikan ataupun didiskusikan," tutupnya. 

Kisah Cinta Korban dan Pelaku

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved