Heboh Paskibraka Lepas Jilbab

BPIP Larang Jilbab untuk Paskibraka, Legislator PKS Bengkulu: Bertentangan dengan Nilai Pancasila

Menurut Sri Astuti, larangan jilbab untuk anggota Paskibraka oleh BPIP telah menyalahi nilai-nilai pancasila.

|
Aghisty Firan Marenza/TribunBengkulu.com.
Anggota DPRD Kota Bengkulu fraksi PKS, Sri Astuti 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Aghisty Firan Marenza 

TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU - Anggota DPRD Kota Bengkulu dari fraksi PKS, Sri Astuti ikut mengomentari kontroversi pelarangan jilbab untuk anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau Paskibraka Nasional 2024 oleh BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).

Menurut Sri Astuti, larangan jilbab untuk anggota Paskibraka oleh BPIP telah menyalahi nilai-nilai pancasila.

Seperti diketahui, 18 anggota Paskibraka Nasional 2024 melepas jilbab saat dikukuhkan oleh Presiden Joko Widodo di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Selasa (13/8/2024).

Disinyalir, 18 anggota Paskibraka putri terpaksa melepas jilbab karena mengikuti aturan yang telah ditetapkan dengan BPIP sebagai penanggungjawab.

Sri Astuti menyayangkan Paskibraka putri harus melepas Jilbab karena terpaksa.

"Sangat disayangkan sekali," kata Sri.

Sri Astuti mengatakan, dalam kasus 18 anggota Paskibraka putri melepas jilbab, sepertinya ada 2 faktor yang memengaruhinya.

Pertama dari diri sendiri, ingin membuka jilbab agar dapat menjadi anggota Paskibraka.

Kemudian yang kedua, karena dipaksa harus mengikuti peraturan yang diskriminatif.

"Yang pertama, karena memakai jilbab masih setengah-setengah. Kedua karena adanya aturan," ujarnya.

"Padahal, dalam Islam wanita itu berkewajiban untuk menggunakan kain yang menutupi tubuh, dan auratnya sehingga tidak terlihat. Bukannya malah disuruh buka," lanjut Sri.

Sri Astuti mengaskan, bahwa apa yang telah dilakukan oleh BPIP itu tidak sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, yang mana tercantum pada sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.

Ia menilai, larangan itu sama dengan memaksa Paskibraka putri melawan perintah agamanya.

Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, lanjutnya, memiliki arti bahwa seluruh warga negara Indonesia itu beragama dan berhak menjalankan agamanya sesuai keyakinan masing-masing.

Hal tersebut justru bertolak belakang dengan semangat BPIP itu sendiri yang seharusnya menjaga nilai-nilai Pancasila.

"Itu sama saja melanggar, yang katanya Pancasila serta menjaga NKRI itu, semua hanya omong kosong," kata Sri.

Ia berharap, kejadian ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih menghargai perbedaan dan menjaga kebersamaan demi keutuhan bangsa. (**)

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved