Opini
Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Perspektif Keadilan dan HAM: Analisis Politik Hukum Pidana KUHP
Perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk perlindungan anak yang akan menentukan masa depan negara
Hal ini berarti lembaga peradilan harus mengupayakan pemulihan relasi antara pelaku dan korban serta fungsi sosial pelaku agar dapat dikembalikan ke masyarakat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Hubungan antara perlindungan anak, nilai keadilan, terhadap HAM dalam konteks peradilan anak ?
Permasalahan utama dalam sistem peradilan anak berkaitan dengan bagaimana negara dapat menyeimbangkan antara perlindungan anak, penerapan nilai-nilai keadilan dan pemenuhan standar hak asasi manusia dalam setiap tahap proses hukum.
Meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengadopsi prinsip keadilan restoratif dan diversi sebagai pendekatan utama, dalam implementasinya di lapangan masih sering tidak konsisten.
Banyak anak pelaku tindak pidana yang belum memperoleh perlindungan optimal baik dari aspek pendampingan hukum, kondisi penahanan, maupun perlakuan aparat penegak hukum yang seharusnya peduli terhadap kondisi psikologis dan perkembangan anak.
Selain itu, nilai keadilan substantif yang seharusnya memperhatikan usia, kematangan emosional, serta latar belakang sosial anak, belum sepenuhnya di hayati dalam praktik penegakan hukum.
Ketidaksesuaian ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara kerangka normatif yang berorientasi pada HAM dan kenyataan operasional di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pemidanaan sehingga menimbulkan pertanyaan apakah sistem peradilan anak Indonesia benar-benar telah mencerminkan tujuan perlindungan dan pemenuhan hak anak secara menyeluruh.
Penerapan hak asasi manusia (HAM) bagi pelaku tindak pidana anak di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.
Salah satu tantangan utamanya adalah perbedaan pemahaman di kalangan aparat penegak hukum mengenai hak anak. Banyak dari aparat penegak hukum yang masih beranggapan bahwa anak pelanggar hukum harus dihukum dengan cara yang sama seperti orang dewasa.
Hal ini berpotensi mengabaikan prinsip dasar perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Stigma sosial terhadap anak pelaku tindak pidana juga menjadi isu yang signifikan. Anak yang terlibat dalam tindakan kriminal sering kali dicap sebagai "penjahat" oleh masyarakat, yang dapat memperburuk keadaan mereka.
Sehingga stigma ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung bagi anak untuk mendapatkan rehabilitasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat, serta menghambat mereka dari mendapatkanbantuan hukum yang diperlukan.
Keterbatasan sumber daya di lembaga peradilan anak juga merupakan tantangan besar.
Banyak pengadilan anak tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani kasus-kasus anak.
Kurangnya tenaga ahli yang dapat memahami kebutuhan anak sehingga dapat menyebabkan proses peradilan yang lambat dan tidak efektif, sehingga anak tidak mendapatkan perlindungan yang baik.
Menurut pendapat penulis upaya pembaruan politik hukum pidana untuk peradilan anak harus bersifat sistematis mencakup regulasi, praktik peradilan, infrastruktur lembaga, peningkatan SDM, budaya hukum masyarakat, dan pengawasan.
Hanya melalui pendekatan komprehensif sehingga sistem peradilan anak dapat benar-benar berkeadilan, humanis, dan selaras dengan nilai-nilai HAM dalam KUHP Nasional.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bengkulu/foto/bank/originals/PIDANA-ANAK-vasvsv.jpg)