Pesan Lembaga Sensor Film untuk Sineas di Bengkulu, Bebas Berkarya tapi Bertanggungjawab

Lembaga Sensor Film (LSF) membagikan sejumlah pesan kepada para pembuat film atau sineas di Bengkulu.

|
Penulis: Jiafni Rismawarni | Editor: Yunike Karolina
Jiafni Rismawarni/TribunBengkulu.com
Suasana usai kegiatan Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran di Provinsi Bengkulu oleh Lembaga Sensor Film (LSF), Jumat (9/6/2023). 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Jiafni Rismawarni 

TRIBUNBENGKULU.COM, BENGKULU - Guna menghasilkan film yang bermutu dan bertanggungjawab jawab, Lembaga Sensor Film (LSF) membagikan sejumlah pesan kepada para pembuat film atau sineas di Bengkulu.

Melalui kegiatan Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran di Provinsi Bengkulu, Ketua Sub Komisi Penyensoran Komisi 1 LSF RI Tri Widyastuti Setyaningsih, atau yang akrab dipanggil Wiwid ini berharap semua orang bisa berkarya dengan sebebas-bebasnya, namun tetap bertanggungjawab.

"Kita kan punya aturan, paling tidak etikanya diperhatikan. Jadi hari ini kami meliterasi yang targetnya adalah para pembuat film, baik para pelajar SMA, maupun pembuat film dari production house, juga penggiat komunitas. Agar mereka punya panduan, aturan etika dalam pembuat film," kata Wiwid, Jumat (9/6/2023). 

Poin penting dari literasi ini adalah menekankan pada penggiat film di Bengkulu untuk bebas berkarya, tapi tetap bisa bertanggungjawab.

Ini juga sesuai dengan amanat dalam Pasal 61 UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yaitu mensosialisasikan secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pembuat dan pemilik film agar dapat menghasilkan film yang bermutu.

"Bahwa film yang mereka produksi ini tidak hanya mereka konsumsi sendiri, tapi juga punya efek positif maupun efek negatif, yang bisa efeknya dikonsumsi atau ditiru masyarakat. Jadi mereka tahu mana yang bisa dikonsumsi oleh umum maupun sebaliknya," jelasnya. 

Kemudian, untuk menyikapi persoalan penyiaran ini, Wiwid berpesan agar masyarakat sebagai konsumen juga bisa mensortir atau melakukan sensor mandiri.

Bagi setiap siaran TV maupun film untuk anak-anak, dengan mengacu pada klasifikasi usia yang tertera di setiap tontonan. Mulai dari kode SU, 13+, 17+, dan 21+.

"Yang dikoreksi sebenarnya itu ada di hulu dan hilir. Di hulu kita harus memastikan karya kita, itu kreatif dan bertanggungjawab. Tapi di masyarakat ini harus punya pelindung bahwa ada yang namanya klasifikasi usia, sehingga jika mereka mau nonton maka harus sesuai dengan klasifikasi usia itu," saran Wiwid. 

Pelaksanaan Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran ini, mendapatkan apresiasi dari para peserta, terutama bagi para penggiat film Bengkulu.

Seperti disampaikan oleh salah satu peserta, Ahmad Joni. Ia pun berterima kasih kepada LSF atas ilmu untuk pembuatan film yang dibagikan tersebut. 

"Alhamdulillah kita jadi dapat ilmu, tentang literasi dan hukum dari LSF. Jadi kita kedepannya lebih aware dan berhati-hati untuk membuat karya. Tadi dijelaskan kita bebas membuat karya tapi tetap bertanggungjawab," ucapnya.

Baca juga: Link Pendaftaran PPDB SMA di Provinsi Bengkulu, Simak Jadwal dan Syaratnya Lengkap

 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved