Berita Rejang Lebong

Menapak Jejak Bidadari di Batu Dewa Rejang Lebong: Antara Mitos, Sejarah dan Keindahan Alam

Mereka konon mandi di antara batu-batu purbakala yang kini menjadi simbol sakral bagi warga Batu Dewa

Penulis: M Rizki Wahyudi | Editor: Yunike Karolina
M Rizki Wahyudi/TribunBengkulu.com
LEGENDA BATU DEWA - Situs Batu Dewa di Desa Batu Dewa Kecamatan Curup Utara Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Tiga batu besar yang masih berdiri kokoh hingga kini — Batu Dewa, Batu Bejemur, dan Batu Berhias — diyakini sebagai tempat para bidadari beraktivitas saat turun dari kayangan. 
Ringkasan Berita:
  • Tiga batu besar yang masih berdiri kokoh hingga kini — Batu Dewa, Batu Bejemur, dan Batu Berhias — diyakini sebagai tempat para bidadari beraktivitas saat turun dari kayangan
  • Pemerintah Desa Batu Dewa menjadikan situs Batu Dewa sebagai tujuan wisata sejarah dan budaya unggulan desa
  • Pemerintah Desa Batu Dewa telah melakukan pembebasan lahan dan pembangunan akses menuju situs Batu Dewa yang memiliki luas sekitar 23 x 29 meter

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, M. Rizki Wahyudi

TRIBUNBENGKULU.COM, REJANG LEBONG – Di balik ketenangan Desa Batu Dewa, Kecamatan Curup Utara, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, tersimpan kisah lama yang tak pernah pudar di makan waktu. 

Cerita itu bukan sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan bagian dari identitas dan sejarah yang diwariskan dengan penuh hormat dari generasi ke generasi.

Masyarakat setempat percaya, legenda ini telah hidup ratusan tahun lamanya.

Berkisah tentang tujuh bidadari dari kayangan yang turun ke bumi setiap kali bulan purnama menyinari malam atau pelangi menampakkan warnanya di langit. 

Mereka konon mandi di antara batu-batu purbakala yang kini menjadi simbol sakral bagi warga Batu Dewa.

Tiga batu besar yang masih berdiri kokoh hingga kini — Batu Dewa, Batu Bejemur, dan Batu Berhias — diyakini sebagai tempat para bidadari beraktivitas saat turun dari kayangan.

Namun di balik kisah mistis itu, sedikit yang mengetahui bahwa nama Desa Batu Dewa sejatinya berasal dari penyebutan lama, yakni “Buteu Diwo” atau “Batu Diwo”.

Dalam bahasa Rejang, “Diwo” berarti perempuan, sehingga dulunya nama itu berarti Batu Perempuan, merujuk pada legenda tujuh bidadari yang turun untuk mandi dan berias.

Seiring waktu, tepatnya sejak tahun 1983 saat desa ini resmi mekar dari Kelurahan Dusun Curup, penyebutan “Batu Diwo” berubah menjadi “Batu Dewa”. 

Diduga, perubahan itu terjadi karena masyarakat pendatang mengira kata Diwo berarti Dewa.

Kepala Desa Batu Dewa, Putra Jaya, menuturkan legenda ini bermula dari kepercayaan masyarakat tentang tujuh bidadari yang turun dari Bukit Kaba pada malam bulan purnama.

Mereka mandi di aliran Air Duku yang tenang, di antara batu-batu purbakala yang kini dikenal sebagai Batu Dewa.

“Batu Dewa ini tidak sekadar batu biasa. Ada tiga batu besar di lokasi itu, dua berbentuk lempengan dengan lubang-lubang kecil mirip permainan congklak, dan satu lagi menyerupai cobek besar dengan cekungan di tengahnya,” ungkap Putra.

Menurut kepercayaan warga, lubang-lubang kecil di batu itu terbentuk karena para bidadari menggiling bahan bedak setelah mandi, sementara batu menyerupai cobek digunakan untuk menumbuk bahan alami riasan wajah mereka.

Sekitar 300 meter dari lokasi utama, terdapat batu besar lain yang disebut Batu Bejemur. Sesuai namanya, batu ini dipercaya menjadi tempat para bidadari menjemur diri di bawah sinar rembulan sebelum kembali ke kayangan.

“Setelah mandi, para bidadari berjalan ke Batu Bejemur untuk berjemur di bawah cahaya bulan. Dari situlah asal nama Batu Bejemur,” tambah Putra Jaya.

Hingga kini, situs Batu Dewa dan Batu Bejemur tetap dijaga kesakralannya oleh masyarakat setempat.

Tak jarang warga datang berziarah atau sekadar berkunjung, membawa sesaji sebagai tanda penghormatan terhadap legenda yang telah hidup turun-temurun.

Namun, di balik kisah indah itu tersimpan peristiwa mistis yang masih diingat warga hingga kini.

Pada tahun 1978, saat program ABRI Masuk Desa, pernah ada upaya memindahkan salah satu batu kecil di lokasi tersebut.

Anehnya, delapan tentara yang mencoba mengangkat batu itu gagal total, seolah batu tersebut menolak untuk dipindahkan.

“Delapan tentara sudah berusaha mengangkatnya, tapi tak seorang pun sanggup. Padahal batunya tidak besar. Akhirnya mereka menyerah, dan batu itu tetap berdiri di tempatnya sampai sekarang,” ujar Putra.

Sejak kejadian itu, keyakinan masyarakat semakin kuat bahwa batu-batu di Desa Batu Dewa memiliki kekuatan gaib yang tak dapat dijelaskan oleh logika manusia.

Legenda Batu Dewa juga melahirkan pantangan yang masih dipegang teguh oleh warga hingga kini. Anak gadis maupun bujang dari Dusun Curup Desa Batu Dewa dilarang mendaki Bukit Kaba. 

Larangan ini berakar dari kisah Muning Hilang, seorang leluhur yang disebut-sebut pernah mencoba mencari para bidadari ke puncak bukit.

Sejak itu, ia tak pernah kembali, hanya meninggalkan pesan gaib agar keturunannya tidak mendaki Bukit Kaba, pesan yang hingga kini tetap dihormati.

Kini, legenda tujuh bidadari itu bukan hanya kisah mistik, tetapi juga bagian dari warisan budaya lokal yang ingin dijaga dan dikembangkan.

Pemerintah Desa Batu Dewa telah melakukan pembebasan lahan dan pembangunan akses menuju situs Batu Dewa yang memiliki luas sekitar 23 x 29 meter.

“Kami ingin menjadikan situs Batu Dewa sebagai wisata sejarah dan budaya unggulan desa. Selain melestarikan cerita leluhur, ini juga bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Curup Utara,” jelas Putra Jaya.

Bagi masyarakat Batu Dewa, legenda ini bukan sekadar mitos, melainkan jejak warisan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, menjadi cermin betapa kuatnya hubungan masyarakat dengan sejarah dan alam yang mengelilinginya.

Baca juga: Breaking News: Heboh! Surat Pernyataan MBG di Rejang Lebong, Larang Orangtua Tuntut Jika Keracunan

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved