Santri di Kepahiang Dilecehkan

Jawaban Pengacara Ketua Yayasan Ponpes Lecehkan Santriwati di Kepahiang soal Eksepsi Prematur

Pengacara terdakwa menjelaskan eksepsi yang diajukan oleh pihaknya, tidak membahas soal pokok perkara kasus dugaan pelecehan seksual.

Panji Destama/ TribunBengkulu.com
Dede Frestien, pengacara terdakwa SA Ketua Yayasan Ponpes di Kepahiang, diwawancara usai sidang lanjutan kasus dugaan pelecehan seksual santriwati, Senin (6/3/2023). 

Laporan Reporter TribunBengkulu.com, Panji Destama

 

TRIBUNBENGKULU.COM, KEPAHIANG - Pengacara Terdakwa SA Ketua yayasan pondok pesantren yang diduga lecehkan santriwati di Kepahiang memberikan penjelasan usai eksepsi yang diajukan dinilai prematur oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepahiang. 

Dede Frestien menyampaikan, eksepsi atau bantahan yang diajukan oleh pihaknya ini, tidak membahas soal pokok perkara kasus dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh kliennya. 

"Kami hanya membahas soal administratif soal dakwaan yang kurang cermat seperti yang saya bahas sebelumnya, bahwa terdakwa bukan tenaga pendidik melainkan staf TU di MTs, atau pegawai dari Kementerian Agama," ungkapnya saat diwawancara TribunBengkulu.com, pada Senin (6/3/2023). 

Lanjutnya, kurang cermatnya dakwaan alternatif JPU menyatakan terdakwa sebagai tenaga pendidik di pondok pesantren hanya berdasarkan SK dan akta yayasan. 

Tetapi, jaksa tidak mampu mendetailkan terdakwa merupakan tenaga pendidik di mana, sedangkan terdakwa hanya pegawai kementerian Agama, merangkap jabatan sebagai pembina di pondok pesantren. 

"Saya tidak tahu apakah Jaksa dapat atau tidak terang status terdakwa ini, namun di P19 kemarin berbunyi seperti itu," tuturnya. 

Dede menanggapi, apa yang dikatakan JPU terkait eksepsi yang diajukannya, merupakan bahan untuk pra peradilan. 

Menurutnya di dakwaan JPU menyatakan terdakwa, adalah pejabat fungsional administrasi di MTs 1, sedangkan Jaksa kurang cermat menanggapi alat bukti. 

"Bukti surat yang disampaikan oleh pihak kepolisian ke pihak kejaksaan pada saat itu, bahwa SK pejabat fungsional itu SK lama," jelasnya. 

Pihaknya juga mengklaim, dakwaan tersebut sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Karena menurut Dede, penetapan tersangka hanya berdasarkan keterangan 12 orang saksi saja, tanpa alat bukti yang lain. 

"Tidak dapat APH menetapkan seseorang sebagai tersangka kalau hanya 1 alat bukti saja. Pedoman kita cukup satu yaitu KUHAP. Hari ini lah banyak kepincangan atau sabotase hukum, dalam hukum pidana, pasal 184 ayat 1 KUHAP salah satunya adalah petunjuk.

Petunjuk itu tidak bisa dipakai pihak kepolisian dalam menetapkan seorang sebagai tersangka. Keterangan saksi hanya dapat menjadi 1 alat bukti saja, baru surat lalu ahli," ucap Dede. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved